Kamis, 23 Februari 2012

TUNTUTAN NAFSU


Saudaraku,…
Nafsu selalu menghendaki agar keinginannya tercapai, dan betapa terselubung pun keadaan nafsu, diberi pakaian dan sebutan yang indah dan bersih, tetap saja tujuannya hanya demi kepentingan diri sendiri. Aku tidak perduli melakukan kejahatan karena aku ingin mendapatkan kesenangan dari hasil kejahatan itu. Aku harus melakukan kebaikan karena aku ingin mendapatkan kesenangan dari hasil kebaikan itu. Berlawanan namun tujuannya sama, yaitu ingin mendapatkan kesenangan dari perbuatan itu. Perbuatan itu tidak utuh, melainkan dijadikan alat atau cara untuk mencapai titik tujuan, yaitu kesenangan yang dikejar-kejar.

Nafsu selalu menyelinap ke dalam pamrih dan pamrih yang saling berlawanan antara manusia menimbulkan bentrokan. Pengejar hasil kebaikan yang satu bertabrakan dengan pengejar hasil kebaikan yang lain karena terjadi bentrokan pamrih. Agama yang satu bentrok dengan agama yang lain karena masing-masing pemeluknya, yaitu manusia, saling mempertahankan “kebaikan” berpamrih tadi.

Orang menyalahkan keadaan di luar diri, menyalahkan lingkungan, masyarakat yang dianggap sebagai penyebab penyelewengan dan kesesatan dirinya. Kita lupa bahwa 1ingkungan atau masyarakat dibentuk oleh keadaan pribadi-pribadi. Kalau hendak menyehatkan 1ingkungan, seharusnya harus menyehatkan pribadi. Kalau pribadi-pribadi sehat, lingkungan pun otomatis menjadi sehat. Orang boleh bertapa mengasingkan diri ke tempat-tempat sunyi, menjauhkan diri dari keramaian, menyiksa diri dengan segala macam cara berusaha untuk mengendalikan dan meyalahkan nafsunya senndiri.

Namun orang lupa bahwa perbuatan ini pun merupakan suatu usaha yang mengandung pamrih, jadi masih dalam lingkaran setan, masih terdorong nafsu. Selama ada dasar "aku ingin" tentu ada nafsu tersembunyi dalam bentuk "agar berhasil". Dan apapun hasil yang dikejar-kejar itu, dengan pakaian bersih, dengan istilah mulia seperti sorga, kedamaian, keheningan, keabadian, kesempurnaan dan lain-lain, tetap saja di dalamnya bersembunyi “kesenangan”. Karena sorga, kedamaian, keheningan, keabadian dan sebagainya itu dianggap enak dan menyenangkan maka, kita kejar-kejar dengan cara memaksa diri berbuat apa yang kita anggap sebagai kebaikan. Tidak pernah kita bertanya kepada diri sendiri : Andaikata sorga itu tidak, menyenangkan, kedamaian dan sebagainya itu tidak enak, apakah kita masih melakukan kebaikan yang kita paksakan itu? Lalu untuk apa?

Kebaikan adalah suatu sifat, suatu keadaan yang wajar, bukan suatu perbuatan yang disengaja. Kalau kita sadar bahwa kita berbuat baik, maka di situ pasti terkandung suatu harap akan pahalanya, walau tersembunyi sekali pun. Matahari merupakan kebutuhan mutlak semua mahluk, memberi kehidupan ketika melimpahkan cahayanya, namun dia tidak tahu apakah itu suatu perbuatan baik. Pohon-pohon memberikan bunga-bunga, harum, buah-buahan segar, kayu dan kulitnya pun bermanfaat bagi serangga dan manusia, hewan-hewan seperti sapi, kuda, anjing dan sebagainya, semua melakukan "kebaikan" tanpa sengaja dan tidak mengharapkan imbalan.

Kita dianugerahi hati akal pikiran yang mengagkat kita menjadi mahluk termulia. Dengan alat-alat itu kita dapat berbuat lebih banyak bagi alam, jauh lebih banyak dibandingkan hewan dan tumbuh-tumbuhan. Mestinya begitu. Namun, justeru hati akal pikiran manusia yang menimbulkan malapetaka di dunia ini, karena nafsu yang menguasainya. Nafsu mutlak penting bagi kehidupan kita, namun juga mutlak berbahaya karena menyeret kita ke dalam kesesatan. Lalu bagaimana?

Saudaraku,…
Jalan satu-satunya hanya kembali kepada kekuasaan Tuhan. Menyerah! Hanya Tuhan yang mampu mengatur dan mengembalikan kita ke alam kewajaran di mana seluruh anggauta tubuh kita luar dalam termasuk hati akal pikiran dibersihkan dari pengaruh nafsu dan berfungsi seperti sebelum dikuasai nafsu. Kalau sudah begitu, manusia akan menjadi manusia seutuhnya, dibimbing dan dikendalikan oleh jiwa yang bersih dari nafsu. Bahkan nafsu yang tadinya merajalela dikembalikan kepada fungsinya semula, yaitu alat dari jiwa dalam jasmani, bukan menjadi majikan.

Senin, 13 Februari 2012

MENGELOLA NAFSU


Saudaraku,…
Nafsu merupakan pelengkap dalam kehidupan manusia, bahkan pendorong dan manusia tidak akan hidup tanpa adanya nafsu. Kenikmatan hidup dapat datang karena adanya nafsu. Keindahan melalui pandang mata, kemerduan melalui pendengaran telinga, keharuman melalui penciuman hidung, dan semua kenikmatan yang dapaf kita rasakan melalui panca indera, melalui semua anggota tubuh, melalui hati akal pikiran, semua itu dapat kita nikmati karena adanya nafsu. Nafsu merupakan anugerah bagi manusia hidup di dunia ini, merupakan barokah dan bekal hidup. Seperti juga anggota badan, hati dan pikiran, nafsu merupakan peserta dan alat yang bertugas mengabdi dan membantu manusia.

Manusia dapat menemukan segala kekuatan dan sarana yang ada di dunia ini, berkat bekerjanya akal yang didorong nafsu. Kemajuan lahiriah yang ada sekarang ini, semua berkat bekerjanya nafsu melalui hati akal pikiran. Dan semua hasil pekerjaan nafsu ditujukan untuk kesejahteraan hidup manusia, untuk kenikmatan hidup manusia di dunia, yaitu yang lajim disebut materi, benda. Namun, nafsu yang amat berguna bagi kehidupan kita ini, juga amat berbahaya karena kalau manusia dikuasainya, maka manusia akan diseretnya menjadi hamba nafsu yang hidupnya hanya mengejar kenikmatan dan kesenangan duniawi saja. Akibatnya, segala cara dilakukan manusia demi meraih kesenangan yang menjadi tujuan semua nafsu dan terjadilan perbuatan-perbuatan yang dinamakan jahat, yaitu merugikan orang lain.

Kalau kita tidak waspada dan ingat selalu kepada Sang Maha Pencipta, yang menciptakan kita, yang menguasai seluruh diri kita luar dalam, yang mengatur segala yang nampak dan tidak nampak, maka kita akan mudah menjadi korban kekuatan nafsu. Segala kebutuhan hidup kita ini dilengkapi dengan nafsu yang akan menimbulkan kenikmatan dalam memenuhi kebutuhan hidup itu. Kita lapar butuh makan agar bertahan hidup, dan di dalam makan itu kita dianugerahi nafsu yang mendatangkan kelezatan dalam mengisi perut yang pada dasarnya dilakukan untuk mempertahankan hidup. Kita mengantuk butuh tidur, dan di dalam tidur pun kita dianugerahi kenikmatan. Kalau haus butuh minum dan dalam minum pun tersedia kenikmatan yang didorong oleh nafsu. Tidak ada kebutuhan yang tidak disertai kenikmatan dalam memenuhinya.

Puji Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang. Demikian besarnya Tuhan melimpahkan cinta kasih kepada segala ciptaan-Nya. Akan tetapi, kalau nafsu merajalela dan kita yang diperhamba, apa akibatnya? Kita melupakan kebutuhan inti dari kehidupan ini, yang kita kejar hanyalah kenikmatan dan kesenangan, hanya kebutuhan nafsu semata. Kita makan bukan lagi untuk sekedar mempertahankan hidup menghilangkan lapar, melainkan lebih condong untuk memuaskan nafsu yang mengejar keenakan sehingga seringkali dapat kita lihat buktinya betapa dalam keadaan lapar sekali pun, kalau lauknya tidak menyenangkan mulut kita, kita makan sedikit saja, tidak perduli bahwa mulut kita membutuhkan lebih banyak. Sebaliknya, biarpun perut sudah kekenyangan, kalau yang kita makan itu kita rasakan enak, dan memuaskan nafsu, kita makan terlalu banyak sampai akhirnya menderita sakit perut! Demikian pula dengan semua kebutuhan hidup, termasuk haus, kantuk, mencari kebutuhan hidup yang lainnya, termasuk pula nafsu sex. Nafsu sex ini mutlak penting dengan perkembangbiakan manusia. Tanpa adanya nafsu ini, orang tidak akan suka melakukan, hubungan dan akibatnya, manusia akan punah seperti yang terjadi pada banyak mahluk lain yang dahulu juga menjadi penghuni bumi namun kini tidak ada lagi sama sekali.




Tulian ini dikutip dari :
Cerita silat karya Asmaraman  S / Kho Ping Hoo

Rabu, 08 Februari 2012

MENGENDALIKAN NAFSU BIRAHI


Saudaraku,…
Nafsu berahi, seperti segala nafsu yang selalu silih berganti menguasai diri manusia seperti kita ini, selalu ditimbulkan oleh ingatan. Pikiran mengingat-ingat, membayangkan segala hal yang pernah dialami atau didengar dari orang lain, segala hal yang menyenangkan dan nikmat. Ingatan inilah bayangan-bayangan yang diciptakan oleh pikiran inilah sesungguhnya yang menimbulkan gairah nafsu! Untuk membebaskan diri dari perbudakan nafsu, kita diajar untuk mengekang dan mengendalikan nafsu! Bagaimana mungkin akan berhasil kalau yang mengendalikan itu pun pikiran kita sendiri?

Nafsu merupakan hasil pemikiran dan keinginan mengendalikan juga timbul dari pikiran setelah melihat akibat nafsu yang merugikan, dan pada hakekatnya, pengendalian itu pun didorong oleh keinginan pula, keinginan untuk bebas dari nafsu. Kalau dikendalikan maka akan terjadi lingkaran setan. Nafsu timbul dikendalikan, tidur sebentar, bangkit lagi dikendalikan lagi, demikian tiada habisnya sampai kita mati!

Setelah tahu bahwa sumber nafsu adalah pikiran, mengapa kita tidak melenyapkan sumbernya saja? Bukan berarti mematikan pikiran, karena pikiran memang penting bagi hidup, melainkan mempergunakan pikiran untuk hal-hal yang bermanfaat dan membiarkan pikiran bersih dari ingatan-ingatan tentang hal-hal yang akan menimbulkan gairah nafsu, menimbulkan dendam, duka, iri, dan sebagainya. Bukan timbul dari keinginan membersihkan pikiran, melainkan membiarkan pikiran bersih sendiri dengan pengamatan penuh kewaspadaan terhadap pikiran sendiri, terhadap nafsu yang timbul dalam pikiran.

Pengamatan saja tanpa usaha pengekangan, tanpa usaha merobah, tanpa menilai. Pengamatan ini yang akan menimbulkan suatu kesadaran, yang akan mendatangkan perobahan. Pengamatan dengan waspada akan membebaskan pikiran menyeleweng, perhatian setiap saat terhadap segala yang terjadi di dalam dan luar diri akan mendatangkan kesegaran baru.





Tulisan ini dikutip dari :
Cerita silat karya Asmaraman S / Kho Ping Hoo



Kamis, 02 Februari 2012

MENUTUPI KEBURUKAN

Terdapat kecenderungan hati kita untuk selalu menutupi kekurangan dan menonjolkan kelebihan kita. Kita selalu ingin disebut baik. Keinginan seperti ini selalu timbul karena keadaan sebenarnya sangat jauh dengan baik. Hanya orang yang berkulit hitam sajalah yang selalu ingin disebut putih. Hanya orang yang bodoh sajalah yang selalu ingin dianggap pintar, dan hanya orang yang melihat betapa kotor dirinya sajalah yang selalu ingin dianggap bersih dan baik.

Kita lupa bahwa justeru keinginan-keinginan untuk dianggap lain daripada kenyataan ini yang seringkali mendorong kita untuk melakukan hal-hal yang buruk dan bodoh. Kalau kita sadar akan kekotoran kita, maka kita akan berusaha membersihkannya, bukan dengan cara menyembunyikan atau menutupinya. Kalau kita sadar bahwa kita bersih, maka kita akan menjaga agar kebersihan itu tidak ternoda kekotoran, bukan lalu menjadi tinggi hati dan merasa bersih dan baik sendiri, karena perasaan demikian itu sudah menodai kebersihan itu sendiri.

Saudaraku,…
Mengapa kita kadang-kadang merasa ngeri untuk menghadapi dan melihat kenyataan apa adanya, betapa buruk dan kotor sekalipun kenyataan itu? Menutupi kenyataan, melarikan diri dari kenyataan, jelas tidak akan dapat merobah keadaan tersebut.