Kamis, 27 Desember 2012

MENGEJAR KEHORMATAN

Saudaraku,…
Salah satu kelemahan kita adalah pengejaran yang membabi-buta terhadap apa yang kita namakan kehormatan. Di dalamnya terkandung bangga diri dan bangga diri adalah sesuatu yang menyenangkan. Karena itu, pengejaran terhadap kehormatan bukan lain hanyalah pengejaran terhadap kesenangan walaupun sifatnya lebih dalam daripada kesenangan badan. Pengejaran terhadap kesenangan sama saja, baik pengejaran terhadap kesenangan badan maupun batin. Kita mengejarnya, kalau sudah dapat kita hendak mempertahankannya.

Di dalam gerak pengejaran dan penguasaan atau ingin mempertahankan ini jelas terdapat kekerasan. Di waktu mengejar dan ingin memperoleh, kita siap untuk mengenyahkan segala perintang dan saingan. Di waktu mempertahankan, kita menentang segala pihak yang ingin menghilangkannya dari tangan kita. Betapapun menyenangkan adanya sesuatu itu, baik bagi badan maupun batin, selalu berakhir dengan kebosanan dan kekecewaan. Bukan barang mustahil bahwa apa yang hari ini menyenangkan, hari esok malah menyusahkan! Dan kita membiarkan diri terombang-ambing di antara senang dan susah, seperti sebuah biduk yang dihempaskan oleh badai, dipermainkan gulungan ombak ke kanan kiri dan selalu terancam kehancuran setiap detik.

Alangkah bahagianya batin yang tidak lagi dapat diombang-ambingkan senang dan sudah, seperti sebongkah batu karang yang kokoh kuat tidak pernah berobah walaupun ada badai dan ombak menggunung. Atau lebih elok lagi, seperti ikan yang berenang dan meluncur di antara ombak-ombak itu tanpa terancam kehancuran, bahkan dapat menikmati hempasan gelombang yang bagaimanapun juga.



Tulisan ini dikutip dari cerita silat 
karya ASMARAMAN S / KHO PING HOO 

Selasa, 11 Desember 2012

MENGEJAR CITA-CITA

Saudaraku,…
Ambisi atau cita-cita selalu nampak indah cemerlang, jauh lebih indah daripada apa adanya saat kita mengejar cita-cita itu! Dan telah menjadi pendapat umum yang menyesatkan bahwa kita manusia hidup HARUS bercita-cita, karena kalau tidak ada cita-cita, kita akan mati, tidak berdaya cipta, dan tidak akan maju! Benarkah demikian? Tidak sehat dan tidak cerdaslah namanya kalau kita hanya menerima pendapat begini atau begitu tanpa menyelidikinya dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebaliknya kalau kita menyelidiki, apakah sesungguhnya ambisi atau cita-cita itu?

Cita-cita adalah bayangan akan sesuatu yang belum ada, akan sesuatu yang kita anggap akan lebih baik, lebih menyenangkan daripada keadaan yang ada sekarang ini. Cita-cita adalah bayangan suatu keadaan yang lebih menyenangkan. Bukankah demikian? Jadi, cita-cita adalah pengejaran, atau keinginan akan sesuatu yang dianggap akan lebih menyenangkan dari pada keadaan sekarang ini. Ada yang bercita-cita untuk menjadi kaya raya, atau setidaknya jauh lebih kaya daripada keadaannya sekarang, berarti dia ini mengejar-ngejar harta kekayaan yang dianggapnya akan mendatangkan kesenangan dalam hidupnya. Ada pula yang bercita-cita untuk memperoleh kedudukan yang lebih tinggi daripada sekarang, tentu saja cita-cita itu muncul karena dianggap bahwa hal itu akan mendatangkan kesenangan dalam hidupnya.

Pendapat umum mengatakan demikian, dan kita menerima saja sebagai sesuatu yang sudah pasti! Padahal, apakah kekayaan dan kedudukan itu pasti mendatangkan kesenangan? Memang, mendatangkan kesenangan, akan tetapi juga kesusahan sebagai tandingannya. Yang jelas, tidak akan mendatangkan kebahagiaan! Dan seperti dapat dilihat dari bukti sehari-hari, yang dikejar-kejar yang masih merupakan ambisi atau cita-cita itu hanyalah merupakan kesenangan yang pada kenyataannya tidaklah seindah dan sekemilau seperti yang dikejarnya. Setelah yang dikejarnya itu terdapat, maka apa yang didapat itu hanya mendatangkan kesenangan sepintas saja, lalu membosankan, karena mata kita sudah melihat lagi jauh ke depan, kepada yang kita anggap lebih menyenangkan lagi, yang merupakan penyakit yang takkan habis sebelum kita mati, yaitu penyakit mengejar sesuatu yang kita anggap lebih menyenangkan. Dan pengejaran atau penyakit ini membuat kita tidak pernah dapat merasakan keindahan saat ini, tidak pernah dapat menikmati keadaan saat ini. Kita hanya menikmati bayangan-bayangan indah dari cita-cita atau ambisi itu saja.

Kemajuan yang dijadikan pendapat umum itu apakah sesungguhnya? Kalau kita mau meneliti diri sendiri, segala sesuatu telah kita dasarkan kepada kebendaan, kepada lahiriah belaka sehingga ukuran kata “kemajuan” bagi kita bukan lain adalah uang dan kedudukan! Majukah seseorang kalau dia sudah memiliki kedudukan tinggi atau banyak uang? Beginilah memang pendapat umum, pendapat kita! Bahagiakah seseorang kalau dia sudah berkedudukan tinggi atau memiliki banyak uang? Kalau kita menyelidiki mereka yang umum anggap berkedudukan tinggi atau berharta besar, maka jawabannya ternyata akan berbunyi : TIDAK!

Pengejaran kesenangan sudah pasti mendatangkan perbuatan-perbuatan yang kejam dan menyeleweng, karena demi pencapaian cita-cita itu kita tidak segan-segan untuk menyingkirkan siapa juga yang menjadi penghalang. Kita tidak segan-segan melakukan penyelewengan-penyelewengan, korupsi, kelicikan, jegal-menjegal, perebutan kursi, apa saja tanpa ada yang diharamkan, demi mencapai cita-cita atau demi tercapainya yang kita anggap akan menyenangkan itu.

Dan apakah artinya semua “kemajuan” lahir tanpa disertai kebersihan batin, tanpa adanya cinta kasih antar manusia dalam batin kita? Dunia sekarang membuktikannya. Semua “kemajuan” yang serba hebat, tenaga-tenaga yang serba dahsyat, lebih banyak dipergunakan oleh manusia untuk saling menghancurkan, saling membunuh. Mari kita sama-sama membuka mata melihat keadaan yang sebenarnya dari kehidupan kita di dunia. Lihatlah perang senjata-senjata yang serba dahsyat, serba maut! Lihatlah kepalsuan-kepalsuan dalam politik. Lihatlah kelicikan-kelicikan dalam perdagangan. Lihatlah perbedaan-perbedaan antara si kaya dan si miskin. Lihatlah negara ini berlimpah-ruah, negara itu kelaparan. Lihatlah, lihatlah keadaan dunia pada umumnya.

Saudaraku,…
Apakah kita boleh berbangga hati dan membusungkan dada mengatakan bahwa kita manusia ini telah “maju”? Betapa menyedihkan!




Tulisan ini dikutip dari :
Cerita silat karya Asmaraman S / Kho Ping Hoo