Kamis, 29 Agustus 2013

KESEPIAN YANG MENYIKSA



Saudaraku,…
Hampir setiap orang pernah merasakan kesepian yang amat menyiksa dan menakutkan batin itu. Rasa kesepian yang mencekam, sungguhpun kita dikelilingi keluarga, harta benda, dan segala milik kita lahir batin. Rasa kesepian ini kadang-kadang muncul kalau kita melihat betapa sesungguhnya kita ini tidak memiliki apa-apa, betapa kita ini hidup terpisah dari semuanya itu, betapa pada suatu saat kita akan berpisah dari kesemuanya itu, apabila kematian datang menjemput kita.

Rasa kesepian ini, rasa betapa diri ini kosong tanpa isi, tiada arti, mendorong kita untuk mengikatkan diri kepada apapun juga yang kita anggap lebih berharga, lebih tinggi dan karena itu dapat mendatangkan hiburan yang membuat kita terhibur dan senang. Kita yang merasa betapa diri sendiri ini kosong tak berarti, lalu mengikatkan diri. Kepada keluarga, kepada kelompok, kepada suku atau agama, kepada kepercayaan, kepada negara, dan sebagainya lagi.

Namun pada hakekatnya, akar daripada pengikatan itu bersumber kepada pelarian diri, diri atau si Aku yang ingin lari daripada kesepian dan kekosongan yang mengerikan itu, si Aku yang ingin terhibur, yang ingin terjamin keamanan dan keselamatannya, si Aku yang selalu ingin dalam keadaan yang menyenangkan. Karena itulah maka timbul pengukuhan dan jerih payah, daya upaya untuk mempertahankan kepada yang kita pentingkan itu di mana kita mengikatkan diri. Yang penting lalu keluargaku, bangsaku, agamaku, Tuhanku, kepercayaanku. Jelaslah bahwa yang penting itu adalah “ku” nya. Peduli apa dengan agama orang lain, karena semua itu tidak ada hubungannya, tidak menyenangkan aku! Yang penting adalah segalagala yang menjadi punyaku, yang menjadi kepentinganku.

Kesepian berbeda dengan keheningan! Kalau kita berada seorang diri, di lereng gunung yang sunyi, atau di tepi laut, atau di mana saja tidak terdapat seorang pun kecuali kita sendiri, kalau kita berada di tempat itu dengan batin kosong, dengan pikiran yang tidak mengoceh, dengan mata dan telinga terbuka, dengan kewaspadaan dan penuh kesadar-an, maka akan terasalah adanya keheningan yang menyelubungi seluruh alam termasuk kita sendiri.

Keheningan yang menembus sampai ke lubuk hati dan seluruh lahir batin kita, yang tiada bedanya dengan keheningan yang berada di luar diri, keheningan yang mencakup seluruhnya di mana diri kita termasuk, keheningan yang tidak memisahmisahkan antara kita dengan pohon, dengan burung yang terbang, dengan embun di ujung daun atau rumput, dengan awan berarak di angkasa. Di dalam keheningan seperti ini tidak terdapat rasa khawatir, tidak terdapat rasa takut, rasa sepi, tiada lagi pikiran yang membanding-bandingkan antara susah dan senang, puas kecewa, hidup mati dan sebagainya.

Akan tetapi, pikiran yang membentuk si Aku ini masuk dan mengacau keheningan dalam diri yang segera memisahkan diri dari keheningan yang menyelimuti seluruh alam, si Aku yang begitu masuk lalu menciptakan keinginan-keinginan. Ingin terus memiliki dan menikmati keheningan itu tadi. Ingin terbebas dari semua kesengsaraan! Ingin ini dan ingin itu dan justeru keinginan inilah yang meniadakan segala-galanya, kecuali mendatangkan kesenangan sekilas lalu saja, dan akhirnya akan mendatangkan kesepian karena semua kesenangan itu hanya selewatan belaka.

Maka, pikiran yang membentuk si Aku itulah yang mendatangkan lingkaran setan yang tiada akhir-nya! Keheningan sebelum si Aku masuk adalah keheningan, yang menyeluruh, keheningan di mana tidak terdapat si Aku yang menikmati keheningan itu. Segala macam suara tidak akan mengganggu karena tercakup di dalam keheningan itu. Hanya pikiran dengan si Akunya sajalah yang mendorong kita keluar dari keheningan, membuat kita memisahkan diri, mengasingkan diri dalam kurungan nafsu kesenangan lahir batin.

Ada orang yang mengira bahwa keheningan menyeluruh itu dapat dicapai dengan daya upaya dan pengejaran. Ada yang mengejarnya melalui meditasi, melalui pertapaan, melalui pengasingan diri di tempat-tempat sunyi, di dalam gua-gua atau di puncak-puncak gunung. Pa-dahal, bukan tempatnya yang penting, bukan caranya yang penting, melainkan kewaspadaan dan kesadaran akan dirinya sendiri. Karena kebebasan itu baru ada apabila kita bebas, bebas dari segala ikatan apa pun. Bebas berarti hening. Tak dapat didayaupayakan, dicari dengan sengaja.

Saudaraku,…
Dalam keadaan terikat, takkan mungkin bebas. Kalau tidak terikat oleh apa pun, maka tanpa dicari kebebasan pun ada. Selama masih terikat, oleh sesuatu, berarti masih dikuasai oleh nafsu keinginan, dan dalam keadaan begini, mencari kebebasan tiada artinya karena yang mencari itu adalah nafsu ingin se-nang, maka dicari-cari dan dikejar-kejar. Mungkin saja bisa didapatkan apa yang dikejar-kejar, akan tetapi yang didapatkan itu bukanlah yang sejati. Yang sejati tak dapat dikejar, melainkan akan memasuki batin yang bebas dan terbuka, karena hanya batin yang terbebas sajalah yang terbuka dan bersih, yang dapat ditembus sinar cinta kasih.




Minggu, 18 Agustus 2013

KEMUNAFIKAN YANG PALSU



Saudaraku,…
Kalau kita bersembahyang baik kepada Tuhan, kepada Nabi, kepada Dewa, atau kepada apa saja yang kita puja sebagai kepercayaan kita masing-masing, kepercayaan yang dibentuk oleh keadaan sekeliling atau oleh keadaan keluarga, kelompok, atau bangsa kita masing-masing, apa yang terucapkan oleh mulut atau hati kita? Mari kita menengok diri sendiri. Bukankah kita memohon kepada Tuhan atau Dewa atau Nabi dengan kata-kata masing-masing, “Ya Tuhan berkahilah SAYA, lindungilah SAYA, ampunilah SAYA, bimbinglah SAYA,” atau di dalam kelompok kita berdoa, “Ya Tuhan lindungilah KAMI, berilah kemenangan dalam perang kepada KAMI, ampunilah dosa-dosa KAMI”, dan selanjutnya lagi?

Dengan demikian, bukankah seluruh doa dan upacaranya itu semata-mata ditujukan demi kepentingan SAYA, atau KAMI, atau si aku ini! Dengan demikian, apakah ini disebut pemujaan kepada Tuhan atau apa pun yang kita sembah? Ataukah hanya merupakan pemujaan kepada diri sendiri semata-mata? Dengan cara demikian, Tuhan tidak dipentingkan lagi, karena yang penting adalah aku, untukku, bagiku, demi aku, dan seterusnya.

Bahkan seolah-olah nama Tuhan hanya kita peralat demi tercapainya segala keinginan kita, keinginan lahir maupun keinginan batin, keinginan memperoleh kedudukan dan kemuliaan di dunia maupun keinginan memperoleh kedudukan dan kemuliaan di alam baka! Bukankah semua ini merupakan kepura-puraan dan kemunafikan yang palsu? Segala macam perbuatan yang dicap sebagai perbuatan baik maupun perbuatan buruk oleh masyarakat kita dan kebudayaannya, segala macam perbuatan itu adalah munafik dan palsu selama di dasarnya terkandung pamrih untuk kepentingan atau kesenangan diri pribadi! Ini sudah jelas dan nyata, bukan? Perbuatan barulah benar kalau digerakkan oleh CINTA KASIH dan cinta kasih bukanlah pamrih dalam bentuk apapun juga. Cinta kasih akan menghilang selama di situ terdapat pamrih! Dan tanpa cinta kasih tidak mungkin ada kebenaran, tidak mungkin ada kebaikan. Kebaikan tidak mungkin dapat dilatih, yang dilatih hanyalah yang palsu, yang berpamrih karena melatih kebaikan itu pun sudah merupakan suatu pamrih yang berselubung halus.

Oleh karena itu, marilah kita belajar mengenal diri sendiri dan melihat segala kepalsuan, kemunafikan, keburukan, yang berjejal penuh di dalam hati dan pikiran kita. Dengan memandang dan mengerti, semua itu akan runtuh dan lenyap, dan setelah bebas dari semua itu, baru sinar cinta kasih akan timbul. Ibarat matahari yang sinarnya takkan menimbulkan penerangan karena tertutup awan, demikian pula cinta kasih tidak bersinar karena tertutup oleh awan hitam yang bersumber kepada si aku! Di mana ada si aku, tentu timbul pertentangan dan permusuhan. Karena itu, di mana ada si aku, tidak mungkin ada cinta kasih. Segala macam bentuk kejahatan yang dilakukan orang adalah suatu tanda bahwa pada saat dia melakukannya, keadaan batinnya memang tidak sehat, tidak waras! Batin yang dikuasai oleh nafsu apa pun, batin yang diperhamba nafsu, merupakan batin yang tidak sehat, yang sudah gelap seperti buta sehingga segala yang dilakukan oleh jasmaninya hanya untuk menuruti dorong-an nafsu itu semata.

Belajar untuk menjadi “orang baik” tidak ada gunanya selama batin masih lemah, masih mudah dicengkeram nafsu, mudah diperhamba nafsu. Yang penting bukan ingin menjadi orang baik, melainkan membuka mata batin, menyadarkan batin agar tidak sesat, tidak lemah, waspada selalu akan keadaan diri sendiri selalu dalam keadaan waspada sehingga tidak lengah dan tidak mudah dinina-bobokkan oleh nafsu.


Tulisan ini dikutip dari :
Cerita silat karya Asmaraman S / Kho Ping Hoo