Segala macam duka, benci, takut dan sebagainya adalah
perasaan yang muncul sebagai kembangnya pikiran. Pikiranlah yang menjadi
biangkeladi segala macam emosi dan sentimen di dalam batin kita. Pikiran
mengenang masa lalu, membayangkan masa depan, pikiran yang menimbang-nimbang
dan menilai-nilai untung rugi terhadap diri kita, menciptakan segala macam
perasaan itu. Bahkan, duka dan pikiran bukan dua hal yang berlainan!
Duka adalah pikiran itulah. Yang merasa punya diri, yang
merasa ada aku, juga pikiran itu dan iba diri timbul pula dari permainan
pikiran. Iblis itidak berada jauh dari diri kita, bersarang di dalam pikiran
setiap saat membisikkan bermacam kata-kata berbisa, dari yang manis merayu,
sampai yang mencaci maki dan menusuk perasaan. Betapa pun duka atau benci atau
takutnya seseorang apabila pikirannya tidak bekerja lagi, dalam tidur, maka
semua bentuk perasaan duka, benci, takut dan sebagainya itu akan lenyap pula!
Oleh karena itu, tidak ada artinya untuk mengalahkan
duka, benci atau takut, selama pikiran masih menjadi bisikan iblis. Kalau yang
berusaha mengalahkan duka itu pikiran, maka yang muncul hanyalah pelarian,
hiburan, dan semua ini kosong dan sia-sia belaka, karena duka ialah pikiran itu
sendiri! Bagaimana mungkin pikiran melarikan diri dari dirinya sendiri?
Yang penting adalah melepaskan belenggu ikatan pikiran
ikatan si aku, membebaskan diri dari semua permainan pikiran yang menyenangkan
masa lalu dan membayangkan masa depan. Bukan aku yang membebaskan, karena yang
mengaku sebagai "aku yang berusaha membebaskan" bukan lain adalah
pikiran pula, dalam bentuk lain. Pikiran memang lihai dan lincah. Lalu timbul pertanyaan,
yaitu bagaimana lalu caranya untuk membebaskan diri dari pikiran ini?
Pertanyaan ini pun masih sekali tiga uang, sama saja, karena yang bertanya itu
juga si aku atau pikiran yang mempunyai pamrih untuk bebas dari pikiran agar
tidak ada duka lagi! Setiap gerakan dari pikiran sudah pasti berpamrih, karena
pusatnya adalah si aku yang ingin senang!
Saudaraku,…
Tidak ada pamrih membebaskan diri, namun sadar akan
bekerjanya pikiran kita sendiri yang menjadi sumber dari segala perasaan. Dan
tidak terdapat cara untuk membebaskan pikiran, karena pikiran adalah aku atau
kita sendiri! Akan tetapi, dengan sepenuh kewaspadaan mengamati diri, mengamati
apa yang terjadi di dalam dan di luar diri, di dalam pikiran, mengamati diri
ketika timbul duka, benci, takut. Pengamatan inilah yang amat penting.
Pengamatan tanpa pamrih, pengamatan tanpa ada si aku yang
mengamati karena kalau demikian, tentu si aku akan menilai dan mengubah,
mencela dan memuji. Yang ada hanya PENGAMATAN saja, dengan penuh kewaspadaan,
dengan penuh perhatian, dengan menyeluruh, namun sedikit pun tidak ada pamrih
mengubah atau boleh disebut secara pasif saja.