Senin, 24 September 2012

MELEPASKAN DUKA


Saudaraku,…
Segala macam duka, benci, takut dan sebagainya adalah perasaan yang muncul sebagai kembangnya pikiran. Pikiranlah yang menjadi biangkeladi segala macam emosi dan sentimen di dalam batin kita. Pikiran mengenang masa lalu, membayangkan masa depan, pikiran yang menimbang-nimbang dan menilai-nilai untung rugi terhadap diri kita, menciptakan segala macam perasaan itu. Bahkan, duka dan pikiran bukan dua hal yang berlainan!

Duka adalah pikiran itulah. Yang merasa punya diri, yang merasa ada aku, juga pikiran itu dan iba diri timbul pula dari permainan pikiran. Iblis itidak berada jauh dari diri kita, bersarang di dalam pikiran setiap saat membisikkan bermacam kata-kata berbisa, dari yang manis merayu, sampai yang mencaci maki dan menusuk perasaan. Betapa pun duka atau benci atau takutnya seseorang apabila pikirannya tidak bekerja lagi, dalam tidur, maka semua bentuk perasaan duka, benci, takut dan sebagainya itu akan lenyap pula!

Oleh karena itu, tidak ada artinya untuk mengalahkan duka, benci atau takut, selama pikiran masih menjadi bisikan iblis. Kalau yang berusaha mengalahkan duka itu pikiran, maka yang muncul hanyalah pelarian, hiburan, dan semua ini kosong dan sia-sia belaka, karena duka ialah pikiran itu sendiri! Bagaimana mungkin pikiran melarikan diri dari dirinya sendiri?

Yang penting adalah melepaskan belenggu ikatan pikiran ikatan si aku, membebaskan diri dari semua permainan pikiran yang menyenangkan masa lalu dan membayangkan masa depan. Bukan aku yang membebaskan, karena yang mengaku sebagai "aku yang berusaha membebaskan" bukan lain adalah pikiran pula, dalam bentuk lain. Pikiran memang lihai dan lincah. Lalu timbul pertanyaan, yaitu bagaimana lalu caranya untuk membebaskan diri dari pikiran ini? Pertanyaan ini pun masih sekali tiga uang, sama saja, karena yang bertanya itu juga si aku atau pikiran yang mempunyai pamrih untuk bebas dari pikiran agar tidak ada duka lagi! Setiap gerakan dari pikiran sudah pasti berpamrih, karena pusatnya adalah si aku yang ingin senang!

Saudaraku,…
Tidak ada pamrih membebaskan diri, namun sadar akan bekerjanya pikiran kita sendiri yang menjadi sumber dari segala perasaan. Dan tidak terdapat cara untuk membebaskan pikiran, karena pikiran adalah aku atau kita sendiri! Akan tetapi, dengan sepenuh kewaspadaan mengamati diri, mengamati apa yang terjadi di dalam dan di luar diri, di dalam pikiran, mengamati diri ketika timbul duka, benci, takut. Pengamatan inilah yang amat penting.

Pengamatan tanpa pamrih, pengamatan tanpa ada si aku yang mengamati karena kalau demikian, tentu si aku akan menilai dan mengubah, mencela dan memuji. Yang ada hanya PENGAMATAN saja, dengan penuh kewaspadaan, dengan penuh perhatian, dengan menyeluruh, namun sedikit pun tidak ada pamrih mengubah atau boleh disebut secara pasif saja.



Tulisan ini dikutip dari :
Cerita silat karya Asmaraman S / Kho Ping Hoo


Senin, 17 September 2012

MABUK KESENANGAN


Saudaraku,...
Sudah menjadi kenyataan semenjak dunia berkembang, di dalam hidup menderita sengsara, manusia akan mencari Tuhan karena sudah kehabisan akal dan tidak berdaya untuk memperbaiki hidupnya yang penuh penderitaan itu. Berpalinglah manusia yang menderita sengsara, mencari-cari Kekuasaan Tertinggi yang tadinya terlupa olehnya dikala ia tidak berada dalam penderitaan hidup. Sebaliknya, diwaktu menikmati hidup penuh kesenangan dan kecukupan, manusia sama sekali lupa akan Tuhannya, lupa bahwa segala kesenangan yang dapat ia rasa pada hakekatnya adalah rahmat dari Tuhan. Manusia dalam mabuk kesenangan menjadi sombong, mabuk kemenangan dan kemuliaan duniawi, merasa seakan-akan semua hasil gemilang itu adalah hasil kepandaiannya sendiri.

Manusia yang sedang ditimpa kesengsaraan suka mencari kesalahan sendiri yang menyebabkan ia menderita, suka mengakui kesalahannya dan bertobat, berjanji takkan mengulangi perbuatannya yang sesat. Sebaliknya, di dalam mabuk kemuliaan, manusia hanya bisa menyalahkan orang lain mengira bahwa dirinya sendiri yang benar dan karena kebenarannya itulah maka ia dapat hidup dalam kemuliaan.

Alangkah bodohnya manusia, alangkah pelupa dan mudah mabuk oleh kesenangan duniawi! Lupa sudah bahwa segala apa yang dipisah-pisahkan manusia dan diberi istilah kesenangan atau kesengsaraan itu adalah sesuatu yang sifatnya sementara belaka. Baik kesenangan dan kesengsaraan yang sebetulnya bukanlah merupakan sifat dari sesuatu keadaan, melainkan lebih merupakan pendapat menurut selera seorang, takkan abadi dan tidak merupakan hal yang sementara terasa, malahan umurnya amat pendek, sependek umur manusia di dunia ini.

Baik mereka yang mabuk kemenangan di waktu usahanya berhasil gemilang, maupun mereka yang putus asa dan nelangsa di waktu mengalami derita kekalahan, mereka ini adalah manusia-manusia yang bodoh dan, mau membiarkan dirinya diombang-ambingkan dan dipermainkan oleh perasaannya sendiri. Bahagialah orang yang selalu berpegang kepada kebenaran, yang selalu waspada akan langkah hidupnya sendiri agar tidak menyeleweng dari kebenaran, dan dalam pada itu selalu mendasarkan segala sesuatu yang menimpa dirinya, baik itu menyenangkan badan maupun sebaliknya, sebagai kehendak daripada Tuhan seru sekalian alam, Tuhan yang menentukan segalanya, yang tak dapat diubah oleh kekuasaan manapun juga di dunia ini.

Jika diadakan perbandingan, jauh lebih bahagia mereka yang tertimpa kesengsaraan hidup dan membuat mereka berpaling mencari Tuhannya, daripada mereka yang hidup bergelimang dalam kemewahan dan membuat mereka lupa akan Tuhannya.

Selasa, 11 September 2012

KESEPIAN YANG MENCEKAM


Saudaraku,…
Hampir setiap orang pernah merasakan kesepian yang amat menyiksa dan menakutkan batin itu. Rasa kesepian yang mencekam, sungguhpun kita dikelilingi keluarga, harta benda, dan segala milik kita lahir batin. Rasa kesepian ini kadang-kadang muncul kalau kita melihat betapa sesungguhnya kita ini tidak memiliki apa-apa, betapa kita ini hidup terpisah dari semuanya itu, betapa pada suatu saat kita akan berpisah dari kesemuanya itu, apabila kematian datang menjemput kita.

Rasa kesepian ini, rasa betapa diri ini kosong tanpa isi, tiada arti, mendorong kita untuk mengikatkan diri kepada apapun juga yang kita anggap lebih berharga, lebih tinggi dan karena itu dapat mendatangkan hiburan yang membuat kita terhibur dan senang. Kita yang merasa betapa diri sendiri ini kosong tak berarti, lalu mengikatkan diri. Kepada keluarga, kepada kelompok, kepada suku atau agama, kepada kepercayaan, kepada negara, dan sebagainya lagi. Namun pada hakekatnya, akar daripada pengikatan itu bersumber kepada pelarian diri, diri atau si Aku yang ingin lari daripada kesepian dan kekosongan yang mengerikan itu, si Aku yang ingin terhibur, yang ingin terjamin keamanan dan keselamatannya, si Aku yang selalu ingin dalam keadaan yang menyenangkan.

Karena itulah maka timbul pengukuhan dan jerih payah, daya upaya untuk mempertahankan kepada yang kita pentingkan itu di mana kita mengikatkan diri. Yang penting lalu keluargaku, bangsaku, agamaku, Tuhanku, kepercayaanku. Jelaslah bahwa yang penting itu adalah “ku” nya.  tidak menyenangkan aku! Yang penting adalah segala-gala yang menjad punyaku, yang menjadi kepentinganku.Kesepian berbeda dengan keheningan! Kalau kita berada seorang diri, di lereng gunung yang sunyi, atau di tepi laut, atau di mana saja tidak terdapat seorang pun kecuali kita sendiri, kalau kita berada di tempat itu dengan batin kosong, dengan pikiran yang tidak mengoceh, dengan mata dan telinga terbuka, dengan kewaspadaan dan penuh kesadaran, maka akan terasalah adanya keheningan yang menyelubungi seluruh alam termasuk kita sendiri.

Keheningan yang menembus sampai ke lubuk hati dan seluruh lahir batin kita, yang tiada beda-nya dengan keheningan yang berada di luar diri, keheningan yang mencakup seluruhnya di mana diri kita termasuk, keheningan yang tidak memisah-misahkan antara kita dengan pohon, dengan burung yang terbang, dengan embun di ujung daun atau rumput, dengan awan berarak di angkasa. Di dalam keheningan seperti ini tidak terdapat rasa khawatir, tidak terdapat rasa takut, rasa sepi, tiada lagi pikiran yang membanding-bandingkan antara susah dan senang, puas kecewa, hidup mati dan sebagainya.

Akan tetapi, pikiran yang membentuk si Aku ini masuk dan mengacau kehening-an dalam diri yang segera memisahkan diri dari keheningan yang menyelimuti seluruh alam, si Aku yang begitu masuk lalu menciptakan keinginankeinginan. Ingin terus memiliki dan menikmati keheningan itu tadi. Ingin terbebas dari semua kesengsaraan! Ingin ini dan ingin itu dan justeru keinginan inilah yang me-niadakan segala-galanya, kecuali menda-tangkan kesenangan sekilas lalu saja, dan akhirnya akan mendatangkan kesepian karena semua kesenangan itu hanya selewatan belaka. Maka, pikiran yang membentuk si Aku itulah yang menda-tangkan lingkaran setan yang tiada akhir-nya!

Saudaraku,…
Keheningan sebelum si Aku masuk adalah keheningan, yang menyeluruh, keheningan di mana tidak terdapat si Aku yang menikmati keheningan itu. Segala macam suara tidak akan mengganggu karena tercakup di dalam keheningan itu. Hanya pikiran dengan si Akunya sajalah yang mendorong kita keluar dari keheningan, membuat kita memisahkan diri, mengasingkan diri dalam kurungan nafsu kesenangan lahir batin.



Tulisan ini dikutip dari :
Cerita silat karya Asmaraman S / Kho Ping Hoo









Selasa, 04 September 2012

KESENANGAN ADALAH KEKUASAAN


Saudaraku,…
Kesenangan adalah kekuasaan. Kekuasaan memungkinkan nafsu yang menguasai diri manusia untuk mencapai segala yang dikehendakinya, dan mencapai segala yang dikehendaki tentu saja mendatangkan kesenangan bagi diri pribadi. Kekuasaan juga membuat kira merasa bahwa diri kita penting, berarti, menonjol. Tanpa ada kekuasaan atas siapa saja, baik atas orang-orang yang berkedudukan lebih rendah dari pada kita, bawahan kita, keluarga kita, anak-anak kita, tanpa adanya perasaan bahwa kita berkuasa atas mereka, maka hidup ini akan terasa kosong, tidak ada artinya, sepi dan membosankan. Seperti juga milik atau kelebihan yang lain pada diri kita, kekuasaan juga memabokkan, dapat membuat kita lupa diri dan melakukan apapun demi untuk mempertahankan atau merampas kekuasaan itu.

Kekuasaan, seperti kelebihan lain, mengikat dan membelenggu kita kuat-kuat sehingga orang yang memiliki kekuasaan tak dapat lagi melepaskan diri, bahkan tidak dapat lagi menikmati hidup tanpa kekuasaan. Ada yang begitu kehilangan kekuasaan, orang merasa demikian kosong, tidak berarti, duka dan sengsara. Ada pula yang mempertahankan kekuasaan dengan taruhan nyawa. Demikian lemahnya kita kalau sudah dicengkeram dan dikuasai nafsu sehingga segala yang sesungguhnya hanya menjadi pelengkap hidup, seperti kekayaan, kedudukan, kekuasaan dan sebagainya, kita jadikan yang terpenting, lebih penting dari pada nyawa!




Tulisan ini dikutip dari :
Cerita silat karya Asmaraman S / Kho Ping Hoo