Sabtu, 31 Maret 2012

BERBAKTI KEPADA ORANG TUA

Saudaraku,…
Kata kebaktian masih selalu didengungkan orang, bahkan dianggap sebagai suatu sila kehidupan manusia beradab yang amat penting. Kebaktian dianggap sebagai ukuran kebudayaan, kesusilaan, bahkan kebaikan seseorang. Bagi kebanyakan orang tua, kata “hauw” atau bakti dijadikan semacam pegangan atau senjata untuk menyerang anak-anaknya kalau anak-anak itu tidak menyenangkan hatinya, dan anak-anak itu, karena takut dianggap tidak berbakti atau murtad, maka mereka itu memaksa diri untuk melakukan apa-apa yang dianggap hauw (bakti) terhadap orang tua!

Berbakti adalah suatu sikap yang dipaksakan! Betapa tidak? Di balik kebaktian ini jelas terkandung pamrih! Kalau orang ingin berbakti, jelas bahwa dia berpamrih untuk menjadi anak baik dan tentu karena anak yang berbakti itu mendapat berkah, banyak rejekinya, terhormat, terpandang dan sebagainya. Apakah artinya sikap berbakti kalau di dalam hati nuraninya tidak ada cinta kasih? Kalau kita mempunyai sinar cinta kasih dalam batin kita, terhadap orang lain pun kita berhati penuh kasih, penuh iba, apalagi terhadap ayah bunda sendiri! Di mana ada kasih, maka kata berbakti itu tidak ada lagi karena dalam setiap perbuatannya terhadap orang tua, tentu penuh dengan kasih sayang yang tanpa pamrih!

Berbakti karena tahu bahwa berbakti itu baik dan sebagainya hanya melahirkan sikap yang palsu dan dibuat-buat, melahirkan perbuatan dan ucapan yang tidak sama dengan isi hatinya. Hanya karena ingin berbakti, maka terjadilah kenyataan betapa mulut ter-senyum berkata-kata halus sungguhpun di dalam hati memaki-maki, pada lahirnya memberi ini itu padahal di dalam hatinya tidak rela! Hal ini dapat kita lihat pada diri kita sendiri, pada kanan kiri kita, melihat kehidupan seperti apa adanya, menelanjanginya dan tidak tertipu oleh kulitnya belaka. Akan tetapi, kalau batin kita penuh cinta kasih, maka tidak akan ada caci maki di dalam hati, tidak ada rela atau tidak rela. Yang ada hanyalah kasih sayang saja!



Tulisan ini dikutip dari :
Cerita silat karya Asmaraman S / Kho Ping Hoo

Rabu, 14 Maret 2012

MENGEJAR KEINGINAN

Saudaraku,…
Keinginan memiliki sesuatu yang tidak atau belum dimiliki menciptakan pengejaran! Dan pengejaran untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan inilah sumber segala konflik, sumber segala kesengsaraan dalam kehidupan ini. Pengejaran akan sesuatu yang belum kita miliki, karena itu lalu kita inginkan, membuat mata kita menjadi seperti buta, tidak lagi melihat apa yang ada pada kita! Mungkinkah kita hidup tampa membiarkan angan-angan menggambarkan keindahan dan kesenangan yang belum kita miliki sehingga kita selalu akan di hinggapi penyakit INGIN mendapatkan segala gambaran angan-angan itu?

Tentu saja dapat kalau kita hidup seutuhnya, sepenuhnya menghayati apa adanya! Kalau pikiran kita di curahkan sepenuhnya kepada apa adanya, maka pikiran itu tidak mempunyai waktu luang lagi untuk termenung mengkhayalkan gambaran-gambaran keindahan yang belum ada. Sekali kita di hinggapi penyakit ingin mendapatkan sesuatu yang dianggap indahdan lebih menyenangkan, maka penyakit itu tidak akan pernah meninggalkan kita, kecuali kalau kita menghentikan seketika satu yang diingikan terdapat, timbul lain keinginan yang dianggap lebih baik dan lebih menyenangkan lagi, dan kita terus terseret ke dalam lingkaran setan. Bukan berarti kita lalu mandeg, statis, berhenti atau mati, tidak kreatif lagi! Melainkan tidak menginginkan sesuatu yang tidak kita miliki! Dengan cara menghayati segala yang ada pada kita sehingga kita akan mampu melihat bahwa dalam segala sesuatu terdapat keindahan itu!
   

Jumat, 02 Maret 2012

JIKA ANDA BERDUKA

Nampaknya menjadi suatu kenyataan yang tak dapat disangkal pula bahwa kehidupan kita sebagai manusia ini penuh dengan duka! Kalau kita susun dalam ingatan dan melihat kenyataan, hidup ini hanya menjadi panggung sandiwara di atas mana kita masing-masing sebagai pemegang peran kadang-kadans tertawa dan kadang-kadang menangis, Namun, betapa sedikitnya tawa dan betapa banyaknya tangis! Betapa hidup penuh dengan kecewa, kepusingan, kesusahen, ketakutan, konflik-konflik batin dan konflik lahir, dan hanya diseling sedikit saja kegembiraan seperti selingan kilat di antara awan gelap.

Apakah ini menjadi kenyataan dari tanda yang dibawa seorang bayi yang sedang lahir? Bayi, calon manusia itu, terlahir dalam keadaan menangis, seolah-olah dia merasa menyesal karena dilahirkan, karena harus memasuki suatu alam yang penuh derita! Dan betapa tenang wajah seorang yang putus nyawanya! Bahkan kebanyakan si mati itu tersenyum dalam kematiannya, seolah-olah wajah itu membayangkan suatu kelegaan bahwa dia telah terbebas dari alam yang penuh derita itu!

Dari manakah timbulnya derita ini? Mengapa kita dihantui oleh rasa kecewa, sesal, khawatir, pusing dan susah? Kalau kita mau mengamati diri sendiri, akan nampaklah bahwa semua perasaan ini datang dari pikiran kita sendiri. Dari si aku yang bersemayam dalam pikiran, yang mempunyai seribu satu macam keinginan untuk mencapai kesenangan seperti yang diharapkan dan dikejar.

Kalau keinginan itu tidak terpenuhi, maka timbullah kecewa. Kalau kepentingan diri terancam, maka timbullah rasa takut dan khawatir. Kalau semua ini menumpuk, timbul iba diri yang membuat hati merasa merana, trenyuh, sakit dan duka. Lalu biasanya kita lari dari derita ini. Kita ingin pula menghindari derita kedukaan, lalu kita mengelak dan menjauhkan diri, kadang kita lari bersembunyi ke balik hiburan-hiburan yang menyenangkan untuk sekedar melupakan kesusahan.

Namun, pelarian dari kenyataan ini hanya membentuk suatu lingkaran setan. Mendapat hiburan, lupa sebentar akan kedukaan itu, namun setelah hiburan memudar, kedukaan itupun akan nampak kembali, menghantui perasaan. Tak mungkin kita lari dari duka karena duka itu adalah kita sendiri! Pikiran sendiri!

Yang tepat adalah menghadapi duka itu, menghadapi kenyataan. Mengamati, mempelajari, tanpa menentang atau lari, mengamati dengan pasrah dan tanpa berbuat apa pun, pasrah kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Kita amati duka itu, bukan sebagai suatu keadaan yang terpisah dari diri sendiri, melainkan sebagai keadaan diri sendiri dengan segala lika-liku pikiran.

Dan landasan dari pengamatan ini adalah kepasrahan yang tulus ikhlas, mengembalikan kesemuanya itu kepada kekuasaan Tuhan karena hanya Tuhanlah yang kuasa membebaskan kita dari segala derita. Kekuasaan Tuhan adalah Sinar Illahi yang juga kita namakan Cinta kasih, keadaan batin di mana tidak ada lagi segala macam nafsu keinginan menyenangkan diri pribadi, tidak ada lagi ulah pikiran yang menimbulkan rasa kecewa, takut, benci dan sebagainya.