Jumat, 18 April 2014

MENCINTAI TANPA PAMRIH


Saudaraku,…
Cinta bukanlah memiliki. Yang memiliki adalah palsu. Akan tetapi kita manusia sedemikian lemahnya sehingga selalu ingin memiliki sesuatu, baik itu berupa benda, berupa manusia lain, ataupun hanya berupa gagasan. Kita takut dan bahkan merasa ngeri untuk membiarkan diri kosong tanpa milik ketergantungan, takut untuk berdiri bebas tanpa pegangan. Padahal, hanya dalam keadaan bebas ini sajalah kita akan dapat merasakan bagaimana hakekat hidup ini.

Dalam keadaan bersandar atau tergantung, kita hanya seperti robot saja yang bergerak di bawah pengaruh yang kita gantungi. Dan karena kita selalu ingin memiliki, timbullah kecondongan di dalam hati kita untnk dimiliki. Karena, di dalam memiliki dan dimiliki orang lain terdapat perasaan aman, perasaan ber-sandar yang teguh. Kita lupa sama sekali bahwa HANYA YANG MEMILIKI AKAN KEHILANGAN, dan kehilangan ini mendatangkan duka dan sengsara.

Bukan berarti bahwa kita menjadi tidak perduli akan segala yang kita punyai. Bukan berarti bahwa kita lalu menjadi tidak perduli kepada isteri atau suami, kepada keluarga, dan anak-anak, kedudukan, kekayaan, kepandaian kita dan sebagainya. Mencinta bukan memiliki akan tetapi juga bukan acuh tak acuh.

Mencinta berarti memberi kebebasan kepada yang dicintanya, tidak mengikat, tidak menginginkan agar yang dicintanya itu selalu mentaatinya dan melakukan segalanya sesuai dengan kehendak dan kesenangan hati sendiri. Mencinta berarti tanpa pamrih dan tanpa pamrih baru ada kalau si-aku yang ingin senang sendiri itu tidak ada.


Tulisan ini dikutip dari :
Cerita silat karya Asmaraman S / Kho Ping Hoo

Sabtu, 05 April 2014

KESENANGAN YANG MEMBOSANKAN


Saudaraku,…
Benarkah kita akan berbahagia kalau sudah memperoleh apa yang kita kejar itu? Kepuasan karena terpenuhinya ke-inginan sesaat itu memang mungkin akan kita rasakan, akan tetapi kepuasan seperti itu sama sekali bukanlah kebahagiaan. Kesenangan itu hanya bertahan sebentar saja. Segera akan terganti oleh kebosanan, dan kita akan melihat kenya-taan bahwa yang tadinya dikejar-kejar dan kini sudah terdapat itu ternyata tidaklah seindah seperti yang kita gambarkan semula ketika kita masih mengejarnya!

Dan kita sudah dicengkeram oleh pengejaran akan sesuatu yang lain lagi, yang lebih indah lagi menurut pandangan kita, dan mulailah kita terseret dan hanyut ke dalam arus keinginan yang takkan pernah menanti sebelum kita mati. Dan kekecewaan-kekecewaan, kebosanan-kebosanan silih berganti menjadi ekor dari berhasilnya setiap pengejaran.

Ada pula pengejaran yang tujuannya bukan hal-hal lahiriah, melainkan hal-hal batiniah. Akan tetapi, pada hakekatnya, mengejar surga dan mengejar uang sama saja. Mengejar surga pun, seperti mengejar uang, disebabkan oleh keinginan memperoleh sesuatu yang kita anggap menyenangkan. Semua yang dikejar itu hanyalah kesenangan, tentu saja dapat “dibungkus” dengan pakaian yang bersih-bersih dan muluk-muluk. Dan setiap pengejaran tentu mendatangkan konflik, karena pengejaran itu sendiri sudah merupakan hasil dari konflik, yaitu tidak puas dengan apa adanya dan menginginkan sesuatu yang belum ada.

Pengejaran pasti menimbulkan kekerasan, karena dalam pengejaran kita akan menghalau segala sesuatu yang kita anggap sebagai perintang. Juga akan mendatangkan penyelewengan, karena kita ingin secepatnya memperoleh yang kita kejar, dengan cara apapun juga. Dari sini timbullah penghalalan segala macam cara untuk mencapai tujuan. Kita selalu haus akan kebahagiaan, karena kita merasa tidak bahagia! Kita selalu memandang jauh ke depan, dengan anggapan bahwa di-SANA-lah terdapat kebahagiaan! Semua ini membuat kita menjadi lengah. Kenapa kita tidak mau membuka mata dan menghadapi saat ini, sekarang ini, menyelidiki yang di SINI, dan tidak terbuai oleh khayal dari keinginan akan hal-hal yang belum ada? Mengapa menujukan pandang mata ke seberang sana dan tidak pernah mau mengamati seberang sini?

Memang lucu dan menyedihkan sekali hal ini. Kita dapat melihat hal ini jelas tergambarkan oleh keadaan orang-orang yang suka me-mancing ikan. Mereka yang duduk di seberang sana melempar kail mereka sejauh mungkin mendekati seberang sini dengan anggapan bahwa di seberang sinilah terdapat ikan terbanyak. Sebaliknya yang duduk di seberang sini berusaha melemparkan kailnya sejauh mungkin mendekati seberang sana dengan pendapat yang sama, yaitu di seberang sanalah terdapat ikan terbanyak! Perangai seperti inilah yang membuat mata kita selalu melihat bunga di kebun orang lebih indah daripada bunga di kebun sendiri!

Padahal, kebahagiaan hanya terdapat dalam saat demi saat sekarang, bukan terdapat dalam masa depan. Namun, kita tidak pernah mau menyelidiki kenyataan ini. Pikiran kita selalu penuh dengan kenangan masa lalu dan bayangan-bayangan masa depan, membuat kita buta terhadap saat itu!