Saudaraku,…
Dari manakah timbulnya kebencian? Kalau kita semua
membuka mata memandang, akan nampak jelas bahwa benci timbul karena si aku
merasa dirugikan, baik dirugikan secara lahiriah, misalnya dirugikan uang,
kedudukan nama dan sebagainya, maupun dirugikan secara batiniah, seperti
dihina, dibikin malu dan sebagainya. Karena merasa dirugikan, maka timbullah
kemarahan yang melahirkan kebencian.
Kebencian ini seperti racun menggerogoti batin kita,
menuntut adanya pembalasan, ingin mencelakakan orang yang kita benci,
menimbulkan perasaan sadis yang dapat dipuaskan oleh penderitaan dia yang kita
benci sehingga tidak jarang mendatangkan perbuatan-perbuatan kejam yang kita
lakukan terhadap orang yang kita benci demi untuk memuaskan dendam!
Kebencian ini dipupuk oleh pikiran yang bekerja dan yang
sibuk terus, mengoceh,
menilai, mendorong, menarik, mengendalikan. Kadang-kadang pikiran
membenarkan kebencian dengan berbagai dalih, kadang-kadang pula menyalahkan.
Terjadilah konflik batin ini memboroskan energi batin. Pemborosan energi batin
ini memupuk dan memberi kelangsungan kepada kebencian itu, karena pikiran
bekerja terus mengingat-ingat dan meng hidupkan segala hal yang terjadi, yang
merugikan kita dan mendatangkan kebencian itu. Padahal kebencian itu adalah aku
sendiri, kebencian adalah pikiran itulah! Pikiran menciptakan aku dan karena
aku dirugikan, timbullah benci. Jadi benci dan aku tidaklah terpisah.
Kalau pikiran tidak bekerja untuk menilai, kalau yang ada
hanya Pengamatan terhadap kebencian itu, berarti pikiran menjadi hening,
pengamatan tanpa penilaian terhadap kebencian, maka kebencian akan kehilangan
daya gerak, akan kehilangan pupuk, kehilangan kelangsungan yang dihidupkan oleh
pikiran yang menilai-nilai. Dan kalau sudah begitu, maka kemarahan, kebencian
akan lenyap dengan sendirinya, seperti api yang kehabisan bahan bakar. Pikiran
yang mengingat-ingat dan menilai-nilai itulah merupakan bahan bakar. Baik
kebencian itu merupakan kebencian perorangan, kebencian demi suku, demi bangsa,
dan sebagainya, pada hake katnya adalah sama, karena di situ tentu terkandung
si aku yang merasa dirugikan. Si aku dapat berkembang menjadi sukuku, bangsaku,
agamaku, keluargaku, dan selanjutnya.
Tulisan ini disarikan dari :
Cerita silat karya ASMARAMAN S / KHO PING HOO