Jumat, 02 Maret 2012

JIKA ANDA BERDUKA

Nampaknya menjadi suatu kenyataan yang tak dapat disangkal pula bahwa kehidupan kita sebagai manusia ini penuh dengan duka! Kalau kita susun dalam ingatan dan melihat kenyataan, hidup ini hanya menjadi panggung sandiwara di atas mana kita masing-masing sebagai pemegang peran kadang-kadans tertawa dan kadang-kadang menangis, Namun, betapa sedikitnya tawa dan betapa banyaknya tangis! Betapa hidup penuh dengan kecewa, kepusingan, kesusahen, ketakutan, konflik-konflik batin dan konflik lahir, dan hanya diseling sedikit saja kegembiraan seperti selingan kilat di antara awan gelap.

Apakah ini menjadi kenyataan dari tanda yang dibawa seorang bayi yang sedang lahir? Bayi, calon manusia itu, terlahir dalam keadaan menangis, seolah-olah dia merasa menyesal karena dilahirkan, karena harus memasuki suatu alam yang penuh derita! Dan betapa tenang wajah seorang yang putus nyawanya! Bahkan kebanyakan si mati itu tersenyum dalam kematiannya, seolah-olah wajah itu membayangkan suatu kelegaan bahwa dia telah terbebas dari alam yang penuh derita itu!

Dari manakah timbulnya derita ini? Mengapa kita dihantui oleh rasa kecewa, sesal, khawatir, pusing dan susah? Kalau kita mau mengamati diri sendiri, akan nampaklah bahwa semua perasaan ini datang dari pikiran kita sendiri. Dari si aku yang bersemayam dalam pikiran, yang mempunyai seribu satu macam keinginan untuk mencapai kesenangan seperti yang diharapkan dan dikejar.

Kalau keinginan itu tidak terpenuhi, maka timbullah kecewa. Kalau kepentingan diri terancam, maka timbullah rasa takut dan khawatir. Kalau semua ini menumpuk, timbul iba diri yang membuat hati merasa merana, trenyuh, sakit dan duka. Lalu biasanya kita lari dari derita ini. Kita ingin pula menghindari derita kedukaan, lalu kita mengelak dan menjauhkan diri, kadang kita lari bersembunyi ke balik hiburan-hiburan yang menyenangkan untuk sekedar melupakan kesusahan.

Namun, pelarian dari kenyataan ini hanya membentuk suatu lingkaran setan. Mendapat hiburan, lupa sebentar akan kedukaan itu, namun setelah hiburan memudar, kedukaan itupun akan nampak kembali, menghantui perasaan. Tak mungkin kita lari dari duka karena duka itu adalah kita sendiri! Pikiran sendiri!

Yang tepat adalah menghadapi duka itu, menghadapi kenyataan. Mengamati, mempelajari, tanpa menentang atau lari, mengamati dengan pasrah dan tanpa berbuat apa pun, pasrah kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Kita amati duka itu, bukan sebagai suatu keadaan yang terpisah dari diri sendiri, melainkan sebagai keadaan diri sendiri dengan segala lika-liku pikiran.

Dan landasan dari pengamatan ini adalah kepasrahan yang tulus ikhlas, mengembalikan kesemuanya itu kepada kekuasaan Tuhan karena hanya Tuhanlah yang kuasa membebaskan kita dari segala derita. Kekuasaan Tuhan adalah Sinar Illahi yang juga kita namakan Cinta kasih, keadaan batin di mana tidak ada lagi segala macam nafsu keinginan menyenangkan diri pribadi, tidak ada lagi ulah pikiran yang menimbulkan rasa kecewa, takut, benci dan sebagainya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar