Kemarahan yang mendatangkan kebencian itu merupakan api
dalam batin yang tidak dapat dilenyapkan dengan jalan menutup-nutupinya dengan
kesabaran atau dengan mencoba untuk melupakan melalui hiburan-hiburan. Kalau
kita marah kepada seseorang, kepada isteri atau suami umpamanya, lalu kita
sabar-sabarkan dengan alasan-alasan yang kita buat sendiri, memang dapat kita
menjadi sabar dan tenang.
Akan tetapi, api kemarahan itu sendiri belum padam, masih
bernyala di dalam batin, hanya tidak berkobar-kobar, tidak meledak-ledak karena
ditutup oleh kesabaran yang kita ciptakan melalui pertimbangan-pertimbangan dan
akal budi. Seperti api dalam sekam. Kalau mendapatkan minyak, maka api
kemarahan yang masih bernyala itu akan berkobar lagi, akan meledak lagi dalam
kemarahan yang mengambil sasaran lain, mungkin kita lalu akan marah-marah
kepada anak kita, kepada pembantu kita, kepada teman dan sebagainya!
Maka kita akan terperosok ke dalam lingkaran setan yang
tiada berkeputusan, marah lagi bersabar lagi, marah lagi, bersabar lagi dan
seterusnya, melakukan perang terhadap kemarahan yang pada hakekatnya adalah
diri kita sendiri.Terjadilah konflik di dalam batin yang terus-menerus antara
keadaan kita yang marah dan keinginan kita untuk tidak marah! Akan terjadi hal
yang sama sekali berbeda apabila di waktu kemarahan timbul kita hanya
mengamatinya saja!
Mengamati tanpa penilaian buruk atau baik, tanpa
menyalahkan atau membenarkan. Ini berarti tanpa adanya aku atau sesuatu yang
mengamati, karena begitu ada si aku yang mengamati, sudah pasti timbul
penilaian dari si aku. Jadi yang ada hanyalah pengamatan saja, mengamati dan
menyelidiki kemarahan itu, mengikuti segala gerak-geriknya penuh perhatian.
Yang ada hanya PERHATIAN saja, tanpa ada yang memperhatikan.
Pengamatan tanpa si aku yang mengamati inilah yang akan
melenyapkan atau memadamkan api kemarahan itu, tanpa ada unsur kesengajaan atau
daya upaya untuk memadamkan!