Saudaraku,…
Dendam merupakan racun bagi batin
yang amat berbahaya. Dendam dapat menciptakan perbuatan-perbuatan yang amat
keji dan kejam, amat kotor dan hina. Dendam membuat kita mau melakukan apa
saja, betapapun kotornya, untuk melampiaskan dendam itu. Dendam menghalalkan
segala cara untuk mencapai tujuan. Dendam adalah kebencian dan penyakit batin
ini sudah umum diderita oleh kita semua.
Kalau perasaan benci dan dendam
menyerang batin kita dan kita lalu bersikap waspada, mengamati perasaan kita
sendiri, maka akan nampaklah dengan jelas rangkaian-rangkaiannya,
sebab-sebabnya dan timbulnya benci. Mula-mula kebencian timbul kalau si aku
merasa dirugikan, merasa dibikin tidak senang, dikecewakan, pendeknya yang
membuat si aku merasa rugi, baik lahir maupun batin. Dari perasaan tidak senang
inilah timbulnya kebencian. Kalau hanya sampai di situ, kalau kita mengamati
dengan penuh kewaspadaan, mengamati dengan batin kosong tanpa menilai, maka
kebencian akan berakhir pula sampai di situ.
Akan tetapi, biasanya pikiran kita lalu
bekerja dengan sibuknya, menilai perasaan benci ini, menilai, mendorong,
menarik, mengendalikan. Sebagian pikiran mencela bahwa benci itu tidak baik,
sebagian pikiran pula membela perasaan itu dengan mengajukan sebab-sebabnya,
yaitu karena dirugikan. Terjadilah pemborosan enersi batin, terjadilah konflik
dan tarik-menarik dari penilaian itu, dan konflik ini bahkan menambah pupuk
bagi kebencian itu sendiri. Yang benci adalah aku, kebencian adalah aku, yang
me-nilai, mencela dan membela adalah aku pula, yakni kesibukan pikiran sendiri.
Dengan demikian, kebencian takkan
mungkin lenyap. Bisa saja dikendalikan dan ditekan dan NAMPAKNYA saja lenyap,
namun sesungguhnya hanya merupakan penundaan sementara saja, api kebencian itu
masih membara, seperti api dalam sekam, nampaknya padam namun di sebelah dalam
membara dan sewaktu-waktu pasti akan bernyala lagi kalau mendapatkan angin dan
bahan bakar!
Pupuk yang membuat suburnya
kebencian itu-lah yang harus lenyap dari batin kita. Penilaian, pengendalian,
celaan dan pembelaan itulah yang harus tidak ada. Yang ada hanya mengamati saja
kebencian yang timbul itu, mengamati tanpa menilai, bukan AKU yang mengamati
karena kalau demikian masih sama saja, masih kesibukan pikiran belaka yang
menginginkan lain, yang ingin agar tidak benci, agar baik dan sebagainya. Yang
ada hanya pengamatan saja penuh kewaspadaan, perhatian yang menyeluruh terhadap
kebencian yang mengamuk di hati dan pikiran itu. Tanpa penilaian seperti itu,
kebencian akan kehilangan daya gerak, akan kehilangan daya hidup, seperti api
kehabisan bahan bakarnya. Benci pribadi, atau kebencian yang timbul ka-rena
keluarga, demi golongan, demi bangsa, se-mua itu pada hakekatnya sama saja,
yang menjadi peran utama adalah si aku yang dapat saja diperluas menjadi keluargaku,
golonganku, bangsaku dan selanjutnya.
Tulisan ini dikutip dari :
Cerita silat karya Asmaraman S
/ Kho Ping Hoo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar