Di dalam kenyataan hidup
sehari-hari, kita semakin menjauhi Ketuhanan dan Perikemanusiaan! Ketuhanan dan
Perikemanusiaan hanya menjadi hiasan bibir belaka bagi kita, hanya kita
dengang-dengungkan sebagai slogan-slogan kosong! Kenyataan pahit ini harus kita
hadapi dengan mata dan telinga terbuka, dan untuk menyelidiki kebenarannya,
kita harus membuka mata mengamati diri kita sendiri masing-masing! Benarkah
kita ini ber-Tuhan? Benarkah kita ini berperikemanusiaan?
Tak perlulah untuk menilai orang
lain apakah dia atau mereka itu ber-Tuhan atau berperikemanusiaan, karena
penilaian kepada orang lain itulah yang membuat kita menjadi palsu, yang
membuat kita mempergunakan pengertian ber-Tuhan dan berperikemanusiaan itu
untuk menyalahkan dan menyerang orang lain! Akan tetapi marilah kita mengamati
diri kita sendiri masing-masing!
Kita semua mengaku beriman, kita
semua mengaku ber-Tuhan, akan tetapi mari kita singkirkan semua pengakuan yang
tidak ada arti dan gunanya ini, melainkan kita mengamati batin sendiri apakah
benar-benar kita ber-Tuhan! Kalau kita benar-benar ber-Tuhan, sudah tentu
setiap saat kita waspada, setiap saat kita sadar bahwa Tuhan mengamati semua
perbuatan kita, mendengarkan semua suara hati dan mulut kita!
Sebaliknya, kalau kita ber-Tuhan
hanya di mulut belaka, maka terjadilah seperti yang sekarang ini terjadi di
dunia, di antara kita semua, yaitu bahwa dalam keadaan menderita saja kita
ingat kepada Tuhan, sedangkan waktu selebihnya kita lupakan begitu saja,
lupakan dengan sengaja karena kita haus akan kesenangan dan Tuhan kita anggap
sebagai penghalang kesenangan!
Dapatkah kita hidup ber-Tuhan bukan dengan
kata-kata kosong, pengakuan mulut, melainkan dengan sepenuhnya, secara
mendalam, mendarah daging dan nampak dalam setiap gerakan, ya, bahkan setiap
tarikan napas kita? Dapatkah? Yang menjawab hanya bukti pada diri kita sendiri,
karena semua jawaban teori hanya kosong melompong tanpa arti.
Penghayatan dalam kehidupan setiap
saatlah yang menentu-kan segalanya.
Kita selalu ingin disebut sebagai
orang yang berperikemanusiaan! Betapa menggelikan dan juga menyedihkan!
Seolah-olah perikemanusiaan hanya semacam cap atau semacam hiasan belaka!
Pernahkah kita meneliti mengamati diri sendiri lahir batin apakah kita ini
berperikemanusiaan ataukah tidak! Adakah api “kasih” bernyala dalam batin kita?
Tidak ada! Api itu padam sudah! Yang ada hanya abu dan asapnya saja yang
membutakan mata. Yang ada hanyalah pengejaran uang, kedudukan, dan pengejaran
kesenangan jelas meniadakan cinta kasih! Pengejaran kesenangan memupuk dan
membesarkan si aku yang ingin senang, dan makin besar adanya si aku, makin
jauhlah sinar cinta kasih dari batin. Dan semua itu, yang nampak demikian
gemilang dan menyilaukan, yang nampak demikian menyenangkan, sesungguhnya
hanyalah lorong lebar menuju kepada kesengsaraan hidup. Memang, kita boleh
tersenyum mengejek dengan sinis, boleh saja. Kita semua seperti dalam keadaan
buta selagi mengejar-ngejar kesenangan yang kita namakan dengan istilah-istilah
muluk seperti kemajuan dan sebagainya.
Saudaraku,…
Kapankah kita akan sadar bahwa hidup
tanpa cinta kasih tidak mungkin membuat kita hidup ber-Tuhan dan
berperikemanusiaan? Ber-Tuhan berarti hidup penuh sinar cinta kasih!
Berperikemanusiaan berarti penuh cinta kasih! Dunia penuh konflik, penuh
kebencian, penuh pertentangan dan permusuhan, penuh pemberontakan dan
peperangan, namun kita masih selalu bicara tentang damai tentang
perikemanusiaan dan sebagainya! Sama dengan membicarakan tentang bunga dan buah
selagi pohonnya sakit dan rontok.
Tulisan ini dikutip dari :
Cerita silat karya Asmaraman S
/ Kho Ping Hoo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar