Rabu, 02 Mei 2018

TERBUAI CITA-CITA



Kita semua selalu tersilaukan oleh gemilangnya tujuan atau cita-cita. Semua cita-cita nampak indah gemilang, membuat kita berebut dan berlomba untuk mendapatkannya. Cita-cita bagaikan nyala api lilin yang indah menarik, membuat banyak binatang malam tertarik dan mereka beterbangan, berlomba mencapai sinar yang terang itu untuk jatuh terbakar dan mati. Kitapun sering terpukau oleh keindahan cita-cita sehingga kita menjadi mabuk dan lupa, kita tidak segan menggunakan segala macam cara untuk mencapai cita-cita itu. Kita lupa bahwa tujuan atau cita-cita hanyalah suatu khayalan, suatu gambaran dari keadaan yang belum ada, sedangkan cara untuk mencapainya inilah yang nyata, yang berhubungan langsung dengan kehidupan kita.

Cara inilah yang paling penting bukan tujuannya! Bagaimana mungkin cara yang salah dapat membawa kita kepada tujuan yang benar? Bagaimana mungkin kita dapat mencapai sesuatu yang baik kalau kita mengejarnya dengan cara yang jahat?

Kita seperti telah dibikin buta karena silau oleh cemerlang dan indahnya cita-cita. Bahkan banyak terjadi dalam sejarah betapa manusia mengadakan perang dengan tujuan untuk mencapai perdamaian! Betapa aneh, gila dan suatu lelucon yang tidak lucu! Perang terjadi karena satu pihak hendak memaksakan kehendaknya, karena kedua pihak hendak mencari kemenangan. Bagaimana mungkin terjadi kedamaian antara yang menang dan yang kalah? Bagaimana mungkin kita dapat berdamai dengan orang lain yang baru saja kita pukul hidungnya, atau dengan orang yang baru saja menghajar kita sampai babak belur?

Perdamaian yang timbul antara yang kalah dan yang menang merupakan perdamaian paksaan, karena yang kalah terpaksa menaati kehendak yang menang. Mungkin karena merasa kalah, pada lahirnya dia terpaksa mau mengulurkan tangan untuk bersalaman akan tetapi jelas bahwa dalam batinnya, dendam dan penasaran yang ada!

Tujuan menghalalkan segala cara, demikianlah kalau kita terbuai dan tersilaukan cemerlangnya tujuan. Cita-cita menimbulkan pengejaran dan justeru pengejaran inilah yang menjadi sarang dari kekuasaan dan pengaruh daya-daya rendah yang menciptakan nafsu. Kalau kita tidak waspada, nafsu menguasai batin dan kitapun menjadi lupa diri, lupa bahwa diri ini majikan nafsu, bukan nafsu majikan diri. Banyak sekali contohnya dalam kehidupan ini, di mana kita silau oleh tujuan sehingga membiarkan diri diperhamba nafsu, mengejar tujuan dengan cara apapun. Mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup memang mutlak perlu, kalau kita mau hidup sebagai orang normal. Akan tetapi, tujuan mencari uang dapat mengobarkan nafsu sehingga kita menggunakan cara apa saja dalam pengejaran kita terhadap uang. Terjadilah penipuan, pencurian atau perampokan, korupsi dan sebagainya.

Hubungan sex merupakan suatu kewajaran, bahkan mutlak perlu bagi kehidupan dan kelangsungan perkembang biakan manusia. Akan tetapi, kalau kita sudah mengejar-ngejarnya sebagai suatu tujuan, kita dapat lupa diri dan segala carapun kita lakukan demi memperolehnya. Terjadilah pelacuran, perjinaan, perkosaan dan sebagainya. Demikian pula, orang memperebutkan kedudukan, nama besar dengan saling hantam, saling jegal, saling bunuh. Bahkan demikian gilanya kita sudah, sehingga untuk tujuan terakhir yang suci dan luhur, seperti keinginan kembali kepada Tuhan, keinginan masuk Sorga sekalipun, kadang diperebutkan dan dipertentangkan! Kalau sudah begitu, tanpa kita sadari akan kemunafikan kita sendiri, kita bahkan tidak malu untuk memperebutkan Tuhan! Semua berkah Tuhan untukku, bukan untukmu dan bukan untuk mereka. Tuhanku sendirilah yang benar, Tuhan kalian dan mereka adalah palsu, dan sebagainya lagi. Dan perang saling membunuh antara manusiapun terjadilah, saling bunuh dengan nama Tuhan, seolah mereka itu masing-masing merasa sebagai suruhan Tuhan untuk membunuh orang lain. Kita tidak menyadari akan hal ini.

Akan tetapi kalau kita mau berhenti sejenak, merenungkan semuanya, orang seperti itu terjadi setiap hari, setiap saat dalam hati kita. Bukan hanya perang antar negara, bukan hanya perang antar kelompok dan antar agama, melainkan perang di dalam batin kita sendiri. Konflik terjadi setiap saat, bentrokan kepentingan daya-daya rendah yang saling berebutan untuk menguasai diri kita sebagai manusia. Daya-daya rendah yang membonceng kita itu memang ingin mencari kesempurnaan dan kenikmatan melalui jasmani kita, dan kita tidak sadar bahwa pembonceng-pembonceng itu berebutan untuk menjadi maling dan bahkan menjadi majikan, merajalela dalam batin kita, menguasai kita sepenuhnya!

Apakah kalau begitu kita tidak perlu mempunyai cita-cita dan membuang cita-cita? Pendapat ini sempit sekali. Namun, kalau kita sudah dapat mengerti benar apa sebenarnya cita-cita itu, maka pertanyaan itu tidak akan timbul. Apakah seorang murid akan berhasil menjadi sarjana hanya karena dia memiliki cita-cita untuk menjadi sarjana? Bukankah yang mengantarkan dia menjadi seorang sarjana itu adalah CARA-nya, yaitu ketekunan dan kesungguhannya untuk belajar? Dapatkah seseorang menjadi pedagang yang sukses hanya karena cita-citanya? Ataukah yang membuat dia berhasil itu karena ketekunan dan kesungguhan dalam pekerjaan itu? Jadi, yang penting bukan cita-citanya, melainkan caranya. Kalau kita menjadi pelajar, kita belajar dengan tekun dan rajin, bersungguh-sungguh, dan tanpa kita cita-citakan sekalipun, kita pasti akan berhasil lulus dalam pelajaran itu. Demikian pula dengan pekerjaan dan sebagainya lagi.

Tidak mungkin mencapai perdamaian atau ketenteraman dengan jalan berperang. Justeru perang itu meniadakan kedamaian. Kalau kita ingin damai? Mudah saja, jangan berperang! Jangan bermusuhan! Kalau tidak berperang otomatis perdamaian ada. Tentu akan timbul bantahan dan sanggahan. Bagaimana kalau pihak sana yang menyerang? Pihak sana yang memulai. Pihak sana yang salah, dan sebagainya lagi. Selalu “pihak sana” yang salah, dan “pihak kita” yang benar. Justeru di sini letaknya pertentangan yang menimbulkan permusuhan. Pertentangan pendapat. Bentrokan kepentingan, bentrokan kebutuhan.

Pada hal, yang menjadi kuncinya bukanlah mengubah pihak sana, melainkan mengubah pihak sini. Keluhan dan pertanyaan yang setiap saat mengusik hati dan pikiran kita dengan pertanyaan-pertanyaan, “kenapa engkau begitu tidak begini, kenapa engkau dan dia, begini tidak seperti yang kuharapkan dan kukehendaki?” seyogyanya diubah sedemikian rupa sehingga pertanyaan itu menjadi, “kenapa aku selalu begini, mau menang sendiri, pemarah, pencemburu, pengiri, penakut?” dan dengan demikian kita dapat melihat kekurangan dan kesalahan diri sendiri. Kita yang harus berubah! Dan perubahan ini, kalau terjadi dengan sungguh-sungguh, bukan dibuat-buat, bukan palsu, pasti akan mendatangkan perubahan pula kepada orang lain yang kita hadapi! Bukan kosong belaka petuah yang mengatakan, “hadapi kebencian orang kepada kita dengan kasih sayang kepada orang itu.” Kalau kasih sayang kita sungguh-sungguh, maka kebencian yang berkobar di hati orang itu pasti akan padam!

Berusaha, berikhtiar sebaiknya dan semampu kita, merupakan wajib. Bagaimana akhir usaha itu? Kita serahkan saja kepada Tuhan Maha Pengasih! Tuhan Maha Adil! Kalau bibit yang ditanam itu baik, cara menanamnya dan memeliharanya juga baik, besar sekali harapannya akan tumbuh dengan baik dan menghasilkan bunga dan buah yang baik pula. Tujuan memperoleh hasil panen yang baik tanpa bekerja keras dan tekun, tidak ada gunanya sama sekali, sebaliknya dengan bekerja keras dan tekun hampir dapat dipastikan mendatangkan hasil panen yang baik.


Tulisan ini dikutip dari :
Novel Silat yang ditulis : Asmaraman S / Kho Ping Hoo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar