Kita semua selalu tersilaukan oleh gemilangnya tujuan
atau cita-cita. Semua cita-cita nampak indah gemilang, membuat kita berebut dan
berlomba untuk mendapatkannya. Cita-cita bagaikan nyala api lilin yang indah
menarik, membuat banyak binatang malam tertarik dan mereka beterbangan,
berlomba mencapai sinar yang terang itu untuk jatuh terbakar dan mati. Kitapun
sering terpukau oleh keindahan cita-cita sehingga kita menjadi mabuk dan lupa, kita tidak segan menggunakan segala macam cara untuk mencapai
cita-cita itu. Kita lupa bahwa tujuan atau cita-cita hanyalah suatu khayalan,
suatu gambaran dari keadaan yang belum ada, sedangkan cara untuk mencapainya
inilah yang nyata, yang berhubungan langsung dengan kehidupan kita.
Cara inilah yang paling penting bukan tujuannya!
Bagaimana mungkin cara yang salah dapat membawa kita kepada tujuan yang benar?
Bagaimana mungkin kita dapat mencapai sesuatu yang baik kalau kita mengejarnya
dengan cara yang jahat?
Kita seperti telah dibikin buta karena silau oleh
cemerlang dan indahnya cita-cita. Bahkan banyak terjadi dalam sejarah betapa
manusia mengadakan perang dengan tujuan untuk mencapai perdamaian! Betapa aneh,
gila dan suatu lelucon yang tidak lucu! Perang terjadi karena satu pihak hendak
memaksakan kehendaknya, karena kedua pihak hendak mencari kemenangan. Bagaimana
mungkin terjadi kedamaian antara yang menang dan yang kalah? Bagaimana mungkin
kita dapat berdamai dengan orang lain yang baru saja kita pukul hidungnya, atau
dengan orang yang baru saja menghajar kita sampai babak belur?
Perdamaian yang timbul antara yang kalah dan yang menang
merupakan perdamaian paksaan, karena yang kalah terpaksa menaati kehendak yang
menang. Mungkin karena merasa kalah, pada lahirnya dia terpaksa mau mengulurkan
tangan untuk bersalaman akan tetapi jelas bahwa dalam batinnya, dendam dan
penasaran yang ada!
Tujuan menghalalkan segala cara, demikianlah kalau kita
terbuai dan tersilaukan cemerlangnya tujuan. Cita-cita menimbulkan pengejaran
dan justeru pengejaran inilah yang menjadi sarang dari kekuasaan dan pengaruh
daya-daya rendah yang menciptakan nafsu. Kalau kita tidak waspada, nafsu
menguasai batin dan kitapun menjadi lupa diri, lupa bahwa diri ini majikan
nafsu, bukan nafsu majikan diri. Banyak sekali contohnya dalam kehidupan ini,
di mana kita silau oleh tujuan sehingga membiarkan diri diperhamba nafsu,
mengejar tujuan dengan cara apapun. Mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup
memang mutlak perlu, kalau kita mau hidup sebagai orang normal. Akan tetapi,
tujuan mencari uang dapat mengobarkan nafsu sehingga kita menggunakan cara apa
saja dalam pengejaran kita terhadap uang. Terjadilah penipuan, pencurian atau
perampokan, korupsi dan sebagainya.
Hubungan sex merupakan suatu kewajaran, bahkan mutlak
perlu bagi kehidupan dan kelangsungan perkembang biakan manusia. Akan tetapi,
kalau kita sudah mengejar-ngejarnya sebagai suatu tujuan, kita dapat lupa diri
dan segala carapun kita lakukan demi memperolehnya. Terjadilah pelacuran,
perjinaan, perkosaan dan sebagainya. Demikian pula, orang memperebutkan
kedudukan, nama besar dengan saling hantam, saling jegal, saling bunuh. Bahkan
demikian gilanya kita sudah, sehingga untuk tujuan terakhir yang suci dan
luhur, seperti keinginan kembali kepada Tuhan, keinginan masuk Sorga sekalipun,
kadang diperebutkan dan dipertentangkan! Kalau sudah begitu, tanpa kita sadari
akan kemunafikan kita sendiri, kita bahkan tidak malu untuk memperebutkan
Tuhan! Semua berkah Tuhan untukku, bukan untukmu dan bukan untuk mereka.
Tuhanku sendirilah yang benar, Tuhan kalian dan mereka adalah palsu, dan
sebagainya lagi. Dan perang saling membunuh antara manusiapun terjadilah,
saling bunuh dengan nama Tuhan, seolah mereka itu masing-masing merasa sebagai
suruhan Tuhan untuk membunuh orang lain. Kita tidak menyadari akan hal ini.
Akan tetapi kalau kita mau berhenti sejenak, merenungkan
semuanya, orang seperti itu terjadi setiap hari, setiap saat dalam hati kita.
Bukan hanya perang antar negara, bukan hanya perang antar kelompok dan antar
agama, melainkan perang di dalam batin kita sendiri. Konflik terjadi setiap
saat, bentrokan kepentingan daya-daya rendah yang saling berebutan untuk
menguasai diri kita sebagai manusia. Daya-daya rendah yang membonceng kita itu
memang ingin mencari kesempurnaan dan kenikmatan melalui jasmani kita, dan kita
tidak sadar bahwa pembonceng-pembonceng itu berebutan untuk menjadi maling dan
bahkan menjadi majikan, merajalela dalam batin kita, menguasai kita sepenuhnya!
Apakah kalau begitu kita tidak perlu mempunyai cita-cita
dan membuang cita-cita? Pendapat ini sempit sekali. Namun, kalau kita sudah
dapat mengerti benar apa sebenarnya cita-cita itu, maka pertanyaan itu tidak
akan timbul. Apakah seorang murid akan berhasil menjadi sarjana hanya karena
dia memiliki cita-cita untuk menjadi sarjana? Bukankah yang mengantarkan dia
menjadi seorang sarjana itu adalah CARA-nya, yaitu ketekunan dan kesungguhannya
untuk belajar? Dapatkah seseorang menjadi pedagang yang sukses hanya karena
cita-citanya? Ataukah yang membuat dia berhasil itu karena ketekunan dan
kesungguhan dalam pekerjaan itu? Jadi, yang penting bukan cita-citanya,
melainkan caranya. Kalau kita menjadi pelajar, kita belajar dengan tekun dan
rajin, bersungguh-sungguh, dan tanpa kita cita-citakan sekalipun, kita pasti
akan berhasil lulus dalam pelajaran itu. Demikian pula dengan pekerjaan dan
sebagainya lagi.
Tidak mungkin mencapai perdamaian atau ketenteraman
dengan jalan berperang. Justeru perang itu meniadakan kedamaian. Kalau kita
ingin damai? Mudah saja, jangan berperang! Jangan bermusuhan! Kalau tidak
berperang otomatis perdamaian ada. Tentu akan timbul bantahan dan sanggahan.
Bagaimana kalau pihak sana yang menyerang? Pihak sana yang memulai. Pihak sana
yang salah, dan sebagainya lagi. Selalu “pihak sana” yang salah, dan “pihak
kita” yang benar. Justeru di sini letaknya pertentangan yang menimbulkan
permusuhan. Pertentangan pendapat. Bentrokan kepentingan, bentrokan kebutuhan.
Pada hal, yang menjadi kuncinya bukanlah mengubah pihak
sana, melainkan mengubah pihak sini. Keluhan dan pertanyaan yang setiap saat
mengusik hati dan pikiran kita dengan pertanyaan-pertanyaan, “kenapa engkau
begitu tidak begini, kenapa engkau dan dia, begini tidak seperti yang
kuharapkan dan kukehendaki?” seyogyanya diubah sedemikian rupa sehingga
pertanyaan itu menjadi, “kenapa aku selalu begini, mau menang sendiri, pemarah,
pencemburu, pengiri, penakut?” dan dengan demikian kita dapat melihat
kekurangan dan kesalahan diri sendiri. Kita yang harus berubah! Dan perubahan
ini, kalau terjadi dengan sungguh-sungguh, bukan dibuat-buat, bukan palsu,
pasti akan mendatangkan perubahan pula kepada orang lain yang kita hadapi!
Bukan kosong belaka petuah yang mengatakan, “hadapi kebencian orang kepada kita
dengan kasih sayang kepada orang itu.” Kalau kasih sayang kita sungguh-sungguh,
maka kebencian yang berkobar di hati orang itu pasti akan padam!
Berusaha, berikhtiar sebaiknya dan semampu kita,
merupakan wajib. Bagaimana akhir usaha itu? Kita serahkan saja kepada Tuhan
Maha Pengasih! Tuhan Maha Adil! Kalau bibit yang ditanam itu baik, cara
menanamnya dan memeliharanya juga baik, besar sekali harapannya akan tumbuh dengan
baik dan menghasilkan bunga dan buah yang baik pula. Tujuan memperoleh hasil
panen yang baik tanpa bekerja keras dan tekun, tidak ada gunanya sama sekali,
sebaliknya dengan bekerja keras dan tekun hampir dapat dipastikan mendatangkan
hasil panen yang baik.
Tulisan ini dikutip dari :
Novel Silat yang ditulis : Asmaraman
S / Kho Ping Hoo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar