Kamis, 28 Juli 2011

MEREDAKAN KEAKUAN

Saudaraku,…
Hati yang selalu gelisah dan tidak tenteram selalu menjadi akibat dari sibuknya pikiran! Kalau pikiran tenang dan hening seperti air telaga yang tidak diusik, maka batin akan menjadi hening dan bebas dari segala macam perasaan pula. Akan tetapi sekali pikiran kacau dan keruh seperti air yang diaduk sehingga semua lumpur dan kotoran dari dasar yang tadinya mengendap itu timbul dan mengeruhkan, keheningan air pun lenyap. Jadi yang penting bukanlah menekan kesibukan pikiran karena penekanan ini pun merupakan kesibukan lain lagi dari pikiran itu sendiri. Yang penting adalah menyelami dan mempelajari, mengamati kesibukan pikiran sendiri, bukan pengamatan dengan pamrih mendiamkan pikiran, melainkan pengamatan yang timbul dari kewaspadaan. Tanpa penekanan dan perlawanan, tanpa adanya si aku yang menekan atau mengamati, tanpa adanya aku yang ingin melihat pikiran menjadi tenang, maka bagaikan kehabisan setrum, pikiran akan menjadi diam dengan sendirinya, bukan DIBIKIN diam.

Kehidupan kita seolah-olah sejak kecil sampai tua sampai mati, dipenuhi dengan berbagai macam masalah dan persoalan. Masing-masing dari kita mempunyai masalah sendiri, menghadapi persoalan tertentu sendiri-sendiri, suka duka selalu menyelang-nyeling, susah senang menjadi pakaian sehari-hari. Semua ini bukan lain ditimbulkan oleh pikiran atau si aku karena si aku adalah bentukan pikiran kita sendiri. Ingin ini, ingin itu, mengapa begini, mengapa tidak begitu seperti yang kita inginkan, mengapa harapan kita menjadi hampa, mengapa keinginan kita tidak terlaksana, mengapa orang lain senang dan kita susah, orang lain pandai dan kita bodoh, orang lain kaya dan kita miskin, dan sebagainya. Perang atau konflik terjadi di dalam diri kita masing-masing, konflik antara kenyataan dan keinginan lain, konflik antara keadaan seperti adanya dengan keadaan seperti yang kita kehendaki. Konflik dalam diri setiap manusia ini menjalar menjadi konflik antara kelompok, golongan, bahkan antara bangsa dan menjadi perang yang mengguncang dunia.

Semua pertikaian atau konflik antara dua orang selalu timbul karena pikiran masing-masing, karena si aku yang selalu ingin disenangkan walaupun jarang sekali ingin menyenangkan, selalu ingin dikasihani walaupun jarang mengasihani. Masing-masing memperebutkan kebenaran sendiri, dan kebenaran yang diperebutkan itu sudah pasti kebenaran yang didasari ingin senang sendiri. Keduanya memperebutkan kebenaran sendiri-sendiri yang berbeda, bahkan berlawanan.

Tradisi usang dan kebiasaan lama kadang-kadang merupakan kebijaksanaan pada suatu masa atau kurun waktu tertentu dan kalau selalu dipertahankan, maka akan menimbulkan konflik karena segala sesuatu akan berubah dengan berubahnya waktu. Mengekor saja kepada kebiasaan atau tradisi lama tanpa pertimbangan yang bijaksana, merupakan suatu kebodohan.

Semenjak ribuan tahun, di Tiongkok terdapat suatu anggapan yang sudah berakar di dalam hati setiap keluarga, merupakan tradisi yang amat kokoh kuat, yaitu bahwa setiap keluarga HARUS mempunyai keturunan laki-laki! Mungkin sekali anggapan ini terdorong oleh kedua keadaan. Pertama, seorang anak laki-laki dianggap akan dapat membantu keluarga orang tuanya di sawah karena pada waktu itu, sebagian besar rakyat hidup sebagai petani yang miskin. Kebutuhan akan tenaga bantuan inilah yang mendorong mereka beranggapan bahwa kalau mempunyai anak laki-laki berarti memperoleh tenaga bantuan yang amat baik dan dapat dipercaya, dan berarti meringankan beban keluarga. Dan ke dua, anak laki-laki akan melanjutkan tradisi nenek moyang, akan melaniutkan keturunan marga mereka masing-masing, dan akan memelihara abu nenek moyang.

Jelasnya, seorang anak laki-laki akan dapat melanjutkan silsilah keluarga, melanjutkan riwayat marga itu. Sebaliknya, anak perempuan hanya menjadi beban sejak kecil, merupakan mahluk lemah yang tenaganya tak dapat banyak diharapkan di waktu anak itu menjadi dewasa, bahkan mengundang datangnya gangguan yang datang dari orang-orang muda, dan akhirnya anak itu hanya akan diboyong oleh orang lain, membantu rumah tangga keluarga lain! Yang dianggap lebih celaka lagi begitu menikah, seorang anak perempuan telah berganti she (nama marga) yang berarti telah menjadi anggauta keluarga marga baru itu, dan marganya sendiri sudah terlepas darinya.

Tentu saja pendapat yang menjadi tradisi seperti ini merupakan suatu pendapat yang seluruhnya berdasarkan kepentingan si aku, dalam hal ini kepentingan si orang tua sendiri. Dan pendapat yang berdasarkan kepentingan diri sendiri selalu mendatangkan tindakan-tindakan yang jahat. Demikian pula dengan tradisi tentang anak laki-laki ini, menimbulkan banyak tindakan yang sesat di kalangan orang-orang tua. Banyak yang menganggap keluarga mereka sial kalau mempunyai anak perempuan, bahkan bukan merupakan dongeng belaka kalau ada keluarga yang anaknya terlahir perempuan melulu, tanpa ada yang laki-laki, memperlakukan anak-anak mereka dengan kejam, bahkan ada yang membunuh anak yang ke sekian dan terlahir perempuan, atau menjual anak itu kepada keluarga lain untuk dijadikan budak, selir, atau bahkan pelacur! Sungguh menyedihkah akibat dari suatu kebiasaan yang turun-temurun dilakukan orang tanpa mempergunakan pertimbangan kebijaksanaan lagi.

Tentu saja karena si aku adalah bentukan pikiran kita sendiri. Ingin ini, ingin itu, mengapa begini, mengapa tidak begitu seperti yang kita inginkan, mengapa harapan kita menjadi hampa, mengapa keinginan kita tidak terlaksana, mengapa orang lain senang dan kita susah, orang lain pandai dan kita bodoh, orang lain kaya dan kita miskin, dan sebagainya. Perang atau konflik terjadi di dalam diri kita masing-masing, konflik antara kenyataan dan keinginan lain, konflik antara keadaan seperti adanya dengan keadaan seperti yang kita kehendaki. Konflik dalam diri setiap manusia ini menjalar menjadi konflik antata kelompok, golongan, bahkan antara bangsa dan menjadi perang yang mengguncang dunia.

Semua pertikaian atau konflik antara dua orang selalu timbul karena pikiran masing-masing, karena si aku yang selalu ingin disenangkan walaupun jarang sekali ingin menyenangkan, selalu ingin dikasihani walaupun jarang mengasihani. Masing-masing memperebutkan kebenaran sendiri, dan kebenaran yang diperebutkan.






Tulisan ini disarikan dari
Cerita Silat karya ASMARAMAN S / KHO PING HOO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar