Minggu, 18 Agustus 2013

KEMUNAFIKAN YANG PALSU



Saudaraku,…
Kalau kita bersembahyang baik kepada Tuhan, kepada Nabi, kepada Dewa, atau kepada apa saja yang kita puja sebagai kepercayaan kita masing-masing, kepercayaan yang dibentuk oleh keadaan sekeliling atau oleh keadaan keluarga, kelompok, atau bangsa kita masing-masing, apa yang terucapkan oleh mulut atau hati kita? Mari kita menengok diri sendiri. Bukankah kita memohon kepada Tuhan atau Dewa atau Nabi dengan kata-kata masing-masing, “Ya Tuhan berkahilah SAYA, lindungilah SAYA, ampunilah SAYA, bimbinglah SAYA,” atau di dalam kelompok kita berdoa, “Ya Tuhan lindungilah KAMI, berilah kemenangan dalam perang kepada KAMI, ampunilah dosa-dosa KAMI”, dan selanjutnya lagi?

Dengan demikian, bukankah seluruh doa dan upacaranya itu semata-mata ditujukan demi kepentingan SAYA, atau KAMI, atau si aku ini! Dengan demikian, apakah ini disebut pemujaan kepada Tuhan atau apa pun yang kita sembah? Ataukah hanya merupakan pemujaan kepada diri sendiri semata-mata? Dengan cara demikian, Tuhan tidak dipentingkan lagi, karena yang penting adalah aku, untukku, bagiku, demi aku, dan seterusnya.

Bahkan seolah-olah nama Tuhan hanya kita peralat demi tercapainya segala keinginan kita, keinginan lahir maupun keinginan batin, keinginan memperoleh kedudukan dan kemuliaan di dunia maupun keinginan memperoleh kedudukan dan kemuliaan di alam baka! Bukankah semua ini merupakan kepura-puraan dan kemunafikan yang palsu? Segala macam perbuatan yang dicap sebagai perbuatan baik maupun perbuatan buruk oleh masyarakat kita dan kebudayaannya, segala macam perbuatan itu adalah munafik dan palsu selama di dasarnya terkandung pamrih untuk kepentingan atau kesenangan diri pribadi! Ini sudah jelas dan nyata, bukan? Perbuatan barulah benar kalau digerakkan oleh CINTA KASIH dan cinta kasih bukanlah pamrih dalam bentuk apapun juga. Cinta kasih akan menghilang selama di situ terdapat pamrih! Dan tanpa cinta kasih tidak mungkin ada kebenaran, tidak mungkin ada kebaikan. Kebaikan tidak mungkin dapat dilatih, yang dilatih hanyalah yang palsu, yang berpamrih karena melatih kebaikan itu pun sudah merupakan suatu pamrih yang berselubung halus.

Oleh karena itu, marilah kita belajar mengenal diri sendiri dan melihat segala kepalsuan, kemunafikan, keburukan, yang berjejal penuh di dalam hati dan pikiran kita. Dengan memandang dan mengerti, semua itu akan runtuh dan lenyap, dan setelah bebas dari semua itu, baru sinar cinta kasih akan timbul. Ibarat matahari yang sinarnya takkan menimbulkan penerangan karena tertutup awan, demikian pula cinta kasih tidak bersinar karena tertutup oleh awan hitam yang bersumber kepada si aku! Di mana ada si aku, tentu timbul pertentangan dan permusuhan. Karena itu, di mana ada si aku, tidak mungkin ada cinta kasih. Segala macam bentuk kejahatan yang dilakukan orang adalah suatu tanda bahwa pada saat dia melakukannya, keadaan batinnya memang tidak sehat, tidak waras! Batin yang dikuasai oleh nafsu apa pun, batin yang diperhamba nafsu, merupakan batin yang tidak sehat, yang sudah gelap seperti buta sehingga segala yang dilakukan oleh jasmaninya hanya untuk menuruti dorong-an nafsu itu semata.

Belajar untuk menjadi “orang baik” tidak ada gunanya selama batin masih lemah, masih mudah dicengkeram nafsu, mudah diperhamba nafsu. Yang penting bukan ingin menjadi orang baik, melainkan membuka mata batin, menyadarkan batin agar tidak sesat, tidak lemah, waspada selalu akan keadaan diri sendiri selalu dalam keadaan waspada sehingga tidak lengah dan tidak mudah dinina-bobokkan oleh nafsu.


Tulisan ini dikutip dari :
Cerita silat karya Asmaraman S / Kho Ping Hoo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar