Saudaraku,…
Kalau kita bersembahyang baik kepada Tuhan, kepada Nabi, kepada Dewa, atau
kepada apa saja yang kita puja sebagai kepercayaan kita masing-masing,
kepercayaan yang dibentuk oleh keadaan sekeliling atau oleh keadaan keluarga,
kelompok, atau bangsa kita masing-masing, apa yang terucapkan oleh mulut atau
hati kita? Mari kita menengok diri sendiri. Bukankah kita memohon kepada Tuhan
atau Dewa atau Nabi dengan kata-kata masing-masing, “Ya Tuhan berkahilah SAYA,
lindungilah SAYA, ampunilah SAYA, bimbinglah SAYA,” atau di dalam kelompok kita
berdoa, “Ya Tuhan lindungilah KAMI, berilah kemenangan dalam perang kepada
KAMI, ampunilah dosa-dosa KAMI”, dan selanjutnya lagi?
Dengan demikian, bukankah seluruh doa dan upacaranya itu semata-mata
ditujukan demi kepentingan SAYA, atau KAMI, atau si aku ini! Dengan demikian,
apakah ini disebut pemujaan kepada Tuhan atau apa pun yang kita sembah? Ataukah
hanya merupakan pemujaan kepada diri sendiri semata-mata? Dengan cara demikian,
Tuhan tidak dipentingkan lagi, karena yang penting adalah aku, untukku, bagiku,
demi aku, dan seterusnya.
Bahkan seolah-olah nama Tuhan hanya kita peralat demi tercapainya segala
keinginan kita, keinginan lahir maupun keinginan batin, keinginan memperoleh
kedudukan dan kemuliaan di dunia maupun keinginan memperoleh kedudukan dan
kemuliaan di alam baka! Bukankah semua ini merupakan kepura-puraan dan
kemunafikan yang palsu? Segala macam perbuatan yang dicap sebagai perbuatan
baik maupun perbuatan buruk oleh masyarakat kita dan kebudayaannya, segala
macam perbuatan itu adalah munafik dan palsu selama di dasarnya terkandung
pamrih untuk kepentingan atau kesenangan diri pribadi! Ini sudah jelas dan
nyata, bukan? Perbuatan barulah benar kalau digerakkan oleh CINTA KASIH dan
cinta kasih bukanlah pamrih dalam bentuk apapun juga. Cinta kasih akan
menghilang selama di situ terdapat pamrih! Dan tanpa cinta kasih tidak mungkin
ada kebenaran, tidak mungkin ada kebaikan. Kebaikan tidak mungkin dapat
dilatih, yang dilatih hanyalah yang palsu, yang berpamrih karena melatih
kebaikan itu pun sudah merupakan suatu pamrih yang berselubung halus.
Oleh karena itu, marilah kita belajar mengenal diri sendiri dan melihat
segala kepalsuan, kemunafikan, keburukan, yang berjejal penuh di dalam hati dan
pikiran kita. Dengan memandang dan mengerti, semua itu akan runtuh dan lenyap,
dan setelah bebas dari semua itu, baru sinar cinta kasih akan timbul. Ibarat
matahari yang sinarnya takkan menimbulkan penerangan karena tertutup awan,
demikian pula cinta kasih tidak bersinar karena tertutup oleh awan hitam yang
bersumber kepada si aku! Di mana ada si aku, tentu timbul pertentangan dan
permusuhan. Karena itu, di mana ada si aku, tidak mungkin ada cinta kasih.
Segala macam bentuk kejahatan yang dilakukan orang adalah suatu tanda bahwa
pada saat dia melakukannya, keadaan batinnya memang tidak sehat, tidak waras!
Batin yang dikuasai oleh nafsu apa pun, batin yang diperhamba nafsu, merupakan
batin yang tidak sehat, yang sudah gelap seperti buta sehingga segala yang
dilakukan oleh jasmaninya hanya untuk menuruti dorong-an nafsu itu semata.
Belajar untuk menjadi “orang baik” tidak ada gunanya selama batin masih
lemah, masih mudah dicengkeram nafsu, mudah diperhamba nafsu. Yang penting
bukan ingin menjadi orang baik, melainkan membuka mata batin, menyadarkan batin
agar tidak sesat, tidak lemah, waspada selalu akan keadaan diri sendiri selalu
dalam keadaan waspada sehingga tidak lengah dan tidak mudah dinina-bobokkan
oleh nafsu.
Tulisan ini dikutip dari :
Cerita
silat karya Asmaraman S / Kho Ping Hoo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar