Saudaraku,…
Hampir setiap
orang pernah merasakan kesepian yang amat menyiksa dan menakutkan batin itu. Rasa kesepian yang mencekam, sungguhpun kita dikelilingi keluarga, harta benda, dan segala milik kita lahir batin. Rasa
kesepian
ini kadang-kadang muncul kalau kita melihat betapa
sesungguhnya kita ini tidak memiliki apa-apa, betapa
kita ini hidup terpisah dari semuanya itu, betapa pada suatu saat kita akan berpisah dari kesemuanya itu, apabila kematian datang menjemput kita.
Rasa kesepian
ini, rasa betapa diri ini kosong tanpa isi, tiada arti, mendorong kita untuk mengikatkan diri kepada apapun juga yang kita anggap lebih berharga, lebih tinggi dan karena itu dapat mendatangkan
hiburan
yang membuat kita terhibur dan senang. Kita yang merasa
betapa diri sendiri ini kosong tak berarti, lalu mengikatkan
diri. Kepada keluarga, kepada kelompok, kepada suku atau agama, kepada kepercayaan, kepada negara, dan sebagainya lagi.
Namun pada
hakekatnya, akar daripada pengikatan itu bersumber kepada pelarian diri, diri atau si Aku yang ingin lari daripada
kesepian
dan kekosongan yang mengerikan itu, si Aku yang ingin
terhibur, yang ingin terjamin keamanan dan keselamatannya,
si Aku yang selalu ingin dalam keadaan yang
menyenangkan. Karena itulah maka timbul pengukuhan dan jerih payah, daya upaya untuk mempertahankan kepada yang kita pentingkan itu di mana kita mengikatkan diri. Yang penting lalu keluargaku, bangsaku,
agamaku,
Tuhanku, kepercayaanku. Jelaslah bahwa yang penting itu
adalah “ku” nya.
Peduli apa dengan agama orang lain, karena semua itu
tidak ada hubungannya, tidak menyenangkan aku! Yang penting
adalah segalagala yang menjadi punyaku, yang menjadi
kepentinganku.
Kesepian berbeda
dengan keheningan! Kalau kita berada seorang diri, di lereng gunung yang sunyi, atau di tepi laut, atau di mana saja tidak terdapat
seorang
pun kecuali kita sendiri, kalau kita berada di tempat itu
dengan batin kosong, dengan pikiran yang tidak mengoceh,
dengan mata dan telinga terbuka, dengan kewaspadaan dan penuh kesadar-an, maka akan terasalah adanya keheningan yang menyelubungi seluruh alam termasuk kita sendiri.
Keheningan yang menembus sampai ke lubuk hati dan seluruh lahir batin kita, yang tiada
bedanya
dengan keheningan yang berada di luar diri, keheningan
yang mencakup
seluruhnya di mana diri kita termasuk, keheningan yang
tidak memisahmisahkan antara kita dengan pohon, dengan
burung yang terbang, dengan embun di ujung daun atau
rumput, dengan awan berarak di angkasa. Di dalam keheningan seperti ini tidak terdapat rasa khawatir, tidak terdapat rasa
takut,
rasa sepi, tiada lagi pikiran yang membanding-bandingkan
antara susah dan
senang, puas kecewa, hidup mati dan sebagainya.
Akan tetapi,
pikiran yang membentuk si Aku ini masuk dan mengacau keheningan dalam diri yang segera memisahkan diri dari keheningan yang menyelimuti seluruh alam, si Aku yang begitu masuk lalu menciptakan keinginan-keinginan.
Ingin terus memiliki dan menikmati keheningan itu tadi.
Ingin
terbebas dari semua kesengsaraan! Ingin ini dan ingin itu
dan justeru keinginan inilah yang meniadakan
segala-galanya, kecuali mendatangkan kesenangan sekilas lalu saja, dan akhirnya akan mendatangkan kesepian karena semua kesenangan itu hanya selewatan belaka.
Maka, pikiran
yang membentuk si Aku itulah yang mendatangkan lingkaran
setan yang tiada akhir-nya! Keheningan sebelum si Aku masuk adalah keheningan, yang menyeluruh, keheningan di mana tidak terdapat si Aku yang menikmati keheningan itu. Segala macam
suara
tidak akan mengganggu karena tercakup di dalam keheningan
itu. Hanya pikiran dengan si Akunya sajalah yang
mendorong kita keluar dari keheningan, membuat kita memisahkan diri, mengasingkan diri dalam kurungan nafsu kesenangan lahir batin.
Ada orang yang
mengira bahwa keheningan menyeluruh itu dapat dicapai dengan daya upaya dan pengejaran. Ada yang mengejarnya melalui meditasi, melalui pertapaan, melalui pengasingan diri di tempat-tempat sunyi, di
dalam
gua-gua atau di puncak-puncak gunung. Pa-dahal, bukan
tempatnya yang
penting, bukan caranya yang penting, melainkan
kewaspadaan dan kesadaran akan dirinya sendiri.
Karena kebebasan itu baru ada apabila kita bebas, bebas dari segala ikatan apa pun. Bebas berarti hening. Tak dapat didayaupayakan, dicari dengan sengaja.
Saudaraku,…
Dalam keadaan
terikat, takkan mungkin bebas. Kalau tidak terikat oleh apa
pun, maka tanpa dicari kebebasan pun ada. Selama masih terikat, oleh sesuatu, berarti masih dikuasai oleh nafsu keinginan, dan
dalam
keadaan begini, mencari kebebasan tiada artinya karena
yang mencari itu
adalah nafsu ingin se-nang, maka dicari-cari dan
dikejar-kejar. Mungkin saja bisa didapatkan apa yang
dikejar-kejar, akan tetapi yang didapatkan itu bukanlah yang sejati. Yang sejati tak dapat dikejar, melainkan akan memasuki batin
yang
bebas dan terbuka, karena hanya batin yang terbebas
sajalah yang terbuka dan bersih, yang dapat
ditembus sinar cinta kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar