Orang yang haus akan kebahagiaan
adalah orang yang tidak berbahagia. Kenyataannya bahwa kita ingin berbahagia
menunjukkan bahwa kita tidak berbahagia. Ini merupakan fakta. Nah, dalam
keadaan tidak berbahagia, bagaimana mungkin dapat menemukan bahagia? Yang tidak
berbahagia itu bukan lain adalah yang mendambakan kebahagiaan itu juga. Dalam
keadaan sakit, bagaimana mungkin tubuh mendambakan kesehatan? Yang terpenting
bukan mencari-cari kesehatan, melainkan menghilangkan penyebab sakit, apakah
kita butuh akan kesehatan lagi. Demikian pula dengan kebahagiaan.
Yang terpenting adalah mengamati,
mempelajari, dan meyakinkan mengapa kita tidak berbahagia! Kalau penyebab yang
mendatangkan ketidakbahagiaan itu lenyap, apakah kita butuh lagi kepada
kebahagiaan? Tentu saja tidak butuh! Orang yang tidak sakit tidak butuh
kesehatan karena memang sudh sehat. Orang yang tidak ‘tak berbahagia’ tidak
membutuhkan kebahagiaan lagi karena sesungguhnya dialah orang berbahagia!
Seperti juga kesehatan, kita tidak pernah menyadari kebahagiaan. Kalau kita
sehat, kita lupa bahwa kita sehat, kita tidak dapat menikmatinya.
Demikian pula kalau kita berbahagia,
kita lupa atau tidak tahu bahwa kebahagiaan tak pernah meninggalkan kita. Kalau
kita sakit, baru kita rindu kesehatan, kalau kita sengsara baru kita
mendambakan kebahagiaan! Pada hal, kebahagiaan, seperti Tuhan dan kekuasaanNya,
tidak pernah meninggalkan kita sedetikpun. Kitalah yang meninggalkan Dia!
Nafsu daya rendah telah mencengkeram
kita lahir batin sehingga nafsu yang diikut-sertakan kepada kita dan yang
semula dijadikan pembantu dan alat kita dalam kehidupan ini, berbalik
memperalat kita sehingga kita diperhamba. Nafsu mencengkeram kita dan mendorong
kita untuk selalu mengejar-ngejar keenakan dan kesenangan diri lahir batin.
Hidup kita hanya diseret ke satu arah, satu arah mencapai tujuan, yaitu
keenakan dan kesenangan!
Dan untuk mencapai tujuan ini, kita
menghalalkan segala cara karena sudah lupa diri, lupa bahwa kita ini manusia,
mahluk tersayang yang mendapat anugerah Tuhan secara berlimpah-limpah. Kita
melupakan Tuhan, hanya menyebut nama Tuhan dalam mulut saja, itupun kita
lakukan kalau kita sedang ditimpa kesengsaraan! Kesengsaraan yang menimpa diri
kita karena akibat ulah kita sendiri, membuat kita ingat kepada Tuhan, ingat
untuk minta tolong, untuk minta dibebaskan dari kesengsaraan! Dalam keadaan
menderita, baru kita menjerit-jerit minta ampun kepada Tuhan!
Permintaan ampun seperti itu
biasanya tidak ada gunanya, karena kita minta ampun dalam keadaan menderita,
dengan satu tujuan terselubung, yaitu terlepas dari kesengsaraan! Permintaan
ampun seperti itu hanya suatu cara untuk memperoleh keenakan dan kesenangan
karena bebas dari derita. Kalau sudah terbebas dari derita, maka kitapun sudah
lupa lagi kepada Tuhan! Itulah ulah nafsu yang sudah mencengkeram hati akal
pikiran, sehingga apapun yang kita lakukan menuruti dorongan hati akal pikiran
yang masih bergelimang nafsu yang selalu berpamrih demi kesenangan diri.
Saudaraku,…
Bebas dari cengkeraman nafsu berarti
selalu berada dalam bimbingan kekuasaan Tuhan. Apapun yang kita lakukan merupakan
suatu kebaktian kepadanya karena tidak ada saat di mana kita lupa kepadanya,
seolah setiap denyut jantung, setiap gerakan, setiap hembusan napas merupakan
pujian dan pujaan kepadanya.
Tulisan ini dikutip dari :
Cerita silat karya Asmaraman S
/ Kho Ping Hoo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar