Saudaraku,…
Kita manusia tidak menyadari bahwa hidup pasti merupakan
medan
pertentangan antara susah dan senang, lebih banyak
dukanya daripada
sukanya, lebih banyak kecewanya daripada puasnya, karena
tanpa kita
sadari sendiri, kita memang telah mengikatkan diri dengan
lingkaran setan
yang berupa sebab akibat dan im-yang (atau dewi
unsur), yang dapat juga disebut kebalikan-kebalikan. Kita
selalu menghendaki yang satu tapi menolak yang lain, kita
selalu mengejar kesenangan namun menghindari kesusahan, mencari-cari kepuasan menolak kekecewaan dan sebagainya.
Padahal, suka duka, senang susah, puas kecewa tidaklah pernah terpisah-pisah, seperti sebuah tangan yang mempunyai dua permukaan, yaitu telapak tangan dan punggung tangan. Mencari yang satu sudah pasti akan bertemu dengan yang lain. Sudah menjadi kebiasaan kita sejak kecil, menjadi suatu hal yang kita terima sebagai sudah semestinya dan seharusnya, yaitu bahwa di dalam segala gerak perbuatan kita, selalu didasari atas pamrih demi kepentingan, kepuasan, kesenangan diri pribadi. Dan setiap perbuatan yang didasari pamrih seperti itu adalah palsu, hanyalah suatu alat belaka untuk mencapai keinginan kita, dan perbuatan seperti itu, betapapun baik kelihatannya, sudah pasti menimbulkan konflik, pertentangan lahir dan batin. Mari kita tengok diri sendiri, mari kita perhatikan diri kita sendiri, bukan orang
lain.
Kita lihat saja segala gerak tubuh, gerak pikiran, dan
gerak mulut atau
kata-kata kita. Tidakkah kesemuanya itu mengandung
kepalsuan belaka?
Sikap kita bersopan-santun kepada tamu misalnya, kalau
kita mau
memandang diri sendiri secara bebas, kita akan melihat
bahwa
kesopanan kita itu bukan timbul dari kasih atau
keakraban, melainkan merupakan bentuk penjilatan karena
tamu itu lebih tinggi atau lebih kaya atau lebih pintar, atau bentuk perendahan diri karena takut, dan sebagainya. Kalau kita melakukan sesuatu demi orang lain sekalipun, di situ tersembunyi pamrih, agar kita dipuja, agar kita menjadi orang baik, agar kita kelak menerima balas jasa. Tidak dapatkah kita hidup dengan wajar, apa adanya, tanpa segala kepalsuan ini? Tidak dapatkah kita melakukan segala macam gerak tanpa dasar kepentingan diri pribadi?
Hal ini hanya mungkin apabila terdapat CINTA KASIH di dalam diri kita! Dengan cinta kasih, segala apapun yang kita lakukan, yang kita pikirkan, yang kita ucapkan, adalah BENAR, karena CINTA KASIH adalah KEBENARAN. Tanpa cinta kasih, matahari akan kehilangan sinarnya, tumbuh-tumbuhan akan kehilangan warnanya, bunga-bunga akan kehilangan harumnya, dunia akan kehilangan keindahannya. Dengan adanya cinta kasih, kita tidak membutuhkan lagi kebahagiaan karena CINTA KASIH adalah KEBAHAGIAAN!
Namun sayang! Yang kita miliki bukanlah cinta kasih yang
murni, yang
suci, yang sejati, yang tidak ada kebalikannya, melainkan
kita hanya
mengenal cinta terhadap seseorang atau sesuatu benda
hidup atau benda
mati, suatu yang abstrak dan yang kita puja-puja. Cinta
kasih macam ini
sesungguhnya bukanlah cinta kasih, melainkan hanya alat
untuk
menyenangkan diri pribadi, untuk mencari kepuasan
seksuil, kepuasan
lahirlah, kepuasan hiburan, atau juga kepuasan batiniah
yang
seaungguhnya hanya morupakan harapan-harapan untuk masa
depan
belaka!
Tentu saja cinta kasih macam ini, yang sesungguhnya bukan
cinta
kasih melainkan nafsu-nafsu keinginan untuk kesenangan
diri pribadi
belaka, cinta kasih macam ini mengandung dwi unsur, yaitu
senang dan
susah, puas dan kecewa, dan karenanya mendatangkan
pertentangan
yang tiada habis-habisnya. Sebab dan akibat adalah suatu
lingkaran setan
yang tiada putus-putusnya, akibat dapat menjadi suatu
sebab untuk akibat berikutnya, dan si sebab itupun
dapat menjadi akibat dari sebab sebelumnya. Celakalah
kita kalau mengikatkan diri terjebak dalam lingkaran setan ini. Sebab akibat berada di dalam tangan kita sendiri!
Kitalah yang menentukan apakah sebab akibat itu akan
berlarut-larut
ataukah akan habis sampai di situ saja! Kalau kita
menghadapi setiap
peristiwa dalam hidup kita dan menyelesaikannya setiap
saat, setiap detik peristiwa itu timbul, dan
menghabiskannya sampai di situ saja, tanpa mengingat yang lalu dan tanpa membayangkan masa depan, maka sebab akibat sebagai rantai akan pecah berantakan dan lenyap!
Saudaraku,…
Marilah kita belajar untuk mengenal diri sendiri, setiap
saat, dengan
memandang penuh kewaspadaan dan kesadaran terhadap diri sendiri, setiap saat pula, dengan perhatian
sepenuhnya tercurah pada setiap gerak perbuatan,
kata-kata dan pikiran kita sendiri tanpa campur tangan. Dengan perhatian setiap saat, perhatian sepenuhnya, yang timbul dari pengertian yang mendalam, maka pandang mata kita akan menembus sampai sedalamnya, pengertian kita akan bangkit dan kita akan bebas dari segala ikatan karena kita mengerti bagaimana bahayanya ikatan-ikatan
itu, dan kebebasan diri dari segala ikatan memungkinkan
kita
mengenal apa artinya CINTA KASIH tadi. Bukan cinta kasih
terhadap
sesuatu, atau terhadap semua, yang ada hanya cinta kasih
saja. Cinta
terhadap seseorang, terhadap semua orang, terhadap alam,
kemesraan,
semua itu tidak terpisah-pisah dan sudah tercakup di
dalamnya.
Tulisan
ini dikutip dari :
Cerita
silat karya Asmaraman S / Kho Ping Hoo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar