Saudaraku,…
Segala macam duka, benci, takut dan
sebagainya adalah perasaan yang muncul sebagai kembangnya pikiran. Pikiranlah
yang menjadi biangkeladi segala macam emosi dan sentimen di dalam batin kita.
Pikiran mengenang masa lalu, membayangkan masa depan, pikiran yang
menimbang-nimbang dan menilai-nilai untung rugi terhadap diri kita, menciptakan
segala macam perasaan itu. Bahkan, duka dan pikiran bukan dua hal yang
berlainan!
Duka adalah pikiran itulah. Yang
merasa punya diri, yang merasa ada aku, juga pikiran itu dan iba diri timbul
pula dari permainan pikiran. Iblis itidak berada jauh dari diri kita, bersarang
di dalam pikiran setiap saat membisikkan bermacam kata-kata berbisa, dari yang
manis merayu, sampai yang mencaci maki dan menusuk perasaan. Betapa pun duka
atau benci atau takutnya seseorang apabila pikirannya tidak bekerja lagi, dalam
tidur, maka semua bentuk perasaan duka, benci, takut dan sebagainya itu akan
lenyap pula!
Oleh karena itu, tidak ada artinya
untuk mengalahkan duka, benci atau takut, selama pikiran masih menjadi bisikan
iblis. Kalau yang berusaha mengalahkan duka itu pikiran, maka yang muncul hanyalah
pelarian, hiburan, dan semua ini kosong dan sia-sia belaka, karena duka ialah
pikiran itu sendiri! Bagaimana mungkin pikiran melarikan diri dari dirinya
sendiri?
Yang penting adalah melepaskan
belenggu ikatan pikiran ikatan si aku, membebaskan diri dari semua permainan
pikiran yang menyenangkan masa lalu dan membayangkan masa depan. Bukan aku yang
membebaskan, karena yang mengaku sebagai "aku yang berusaha
membebaskan" bukan lain adalah pikiran pula, dalam bentuk lain. Pikiran
memang lihai dan lincah. Lalu timbul pertanyaan, yaitu bagaimana
lalu caranya untuk membebaskan diri dari pikiran ini? Pertanyaan ini pun masih
sekali tiga uang, sama saja, karena yang bertanya itu juga si aku atau pikiran
yang mempunyai pamrih untuk bebas dari pikiran agar tidak ada duka lagi! Setiap
gerakan dari pikiran sudah pasti berpamrih, karena pusatnya adalah si aku yang
ingin senang!
Saudaraku,…
Tidak ada pamrih membebaskan diri,
namun sadar akan bekerjanya pikiran kita sendiri yang menjadi sumber dari
segala perasaan. Dan tidak terdapat cara untuk membebaskan pikiran, karena
pikiran adalah aku atau kita sendiri! Akan tetapi, dengan sepenuh kewaspadaan
mengamati diri, mengamati apa yang terjadi di dalam dan di luar diri, di dalam
pikiran, mengamati diri ketika timbul duka, benci, takut. Pengamatan inilah
yang amat penting.
Pengamatan tanpa pamrih, pengamatan
tanpa ada si aku yang mengamati karena kalau demikian, tentu si aku akan
menilai dan mengubah, mencela dan memuji. Yang ada hanya PENGAMATAN saja,
dengan penuh kewaspadaan, dengan penuh perhatian, dengan menyeluruh, namun
sedikit pun tidak ada pamrih mengubah atau boleh disebut secara pasif saja.
Tulisan ini dikutip dari :
Cerita silat karya Asmaraman S / Kho Ping Hoo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar