Saudaraku,…
Rasa kesepian,
merasa sendiri saja tanpa teman, merasa terasing dan tidak ada yang
mempedulikan, perasaan ini amat ditakuti oleh semua orang. Perasaan ini
mendatangkan iba diri dan kesedihan. Karena takut akan rasa kesepian inilah
maka semua orang mudah sekali terikat, bahkan suka mengikatkan diri dengan
sesuatu. Kita merasa ngeri kalau harus menderita kesepian, maka kita
mengikatkan diri dengan isteri, keluarga, sahabat, bangsa, suku kelompok, atau
kita mengikatkan diri dengan gagasan-gagasan sehingga kita merasa aman dan
merasa “tidak sendirian”. Rasa ngeri membayangkan harus bersendirian inilah
agaknya yang membuat kita merasa ngeri akan kematian. Bagaimana kalau kita
mati? Kita akan sendirian, akan kehilangan segala-galanya! Inilah yang
mendatangkan kengerian, dan karena ini pula maka kita mengikatkan diri dengan
segala macam agama atau kepercayaan, sebagai penghibur diri di waktu masih
hidup bahwa kalau kita mati kelak, kita akan terbebas daripada “sendirian” itu.
Akan tetapi,
benarkah bahwa kesunyian, keheningan, di mana kita berada seorang diri, baik
jasmani maupun rohaniah, sendiri tanpa siapapun juga, mendatangkan kengerian?
Siapakah itu yang merasa ngeri? Bukankah yang takut itu adalah pikiran yang
membayangkan segala keadaan, mengharapkan yang menyenangkan dan menghindarkan
yang tidak menyenangkan? Pernahkah kita menghadapi kesunyian ini, kesepian ini,
rasa bersendirian ini, menghadapinya, mengamatinya tanpa penilaian, tanpa
pendapat dan gagasan tentang kesepian itu? Maukah kita mencoba untuk menyelami
kesepian ini, memandangnya tanpa ide-ide tentang kesepian sehingga antara
kesepian dan kita tidak ada jarak pemisah lagi? Sehingga kita merupakan
sebagian daripada keheningan itu?
Proses badaniah
yang menjadi tua, lapuk lalu mati, merupakan hal yang wajar. Kita tidak merasa
takut atau ngeri akan hal itu. Yang kita takutkan adalah bagaimana nanti
jadinya dengan “kita”! Bagaimana nanti dengan keluarga kita, orang-orang yang
kita cinta, dengan harta benda kita, dengan nama kita, kedudukan kita dan
sebagainya lagi. Semua ikatan-ikatan itulah yang membuat kita merasa ngeri
untuk mati, ngeri untuk berpisah dari semua itu. Kita merasa ngeri karena
dengan kehilangan semua itu, kita ini BUKAN APA-APA lagi.
Kita membayangkan, apakah jadinya dengan kita kalau kita tidak punya keluarga
lagi, tiada teman, tiada harta benda, tiada segala yang kesemuanya mendatangkan
kesenangan itu? Itulah sebabnya mengapa kita takut akan kematian, takut akan
kesepian. Pikiran yang membentuk si aku yang selalu ingin senang dan menjauhi
ketidaksenangan, pikiran ini yang merasa ngeri karena membayangkan bahwa semua
kesenangan itu akan berpisah dari kita. Akan tetapi, kita dapat merasakan
keadaan mati ini selagi kita masih hidup. Jasmani kita masih hidup, akan tetapi
kalau batin kita dapat terbebas dari segala ikatan, maka rasa takut akan
kehilangan ikatan-ikatan itu tidak ada.
Dan tanpa adanya
rasa takut ini, maka keheningan atau kesunyian akan merupakan sesuatu yang lain
sama sekali! Bukankah berarti bahwa kita lalu menjadi seperti patung hidup!
Sama sekali tidak. Kita masih hidup di dalam dunia ramai dengan segala aneka
ragam, namun batin kita bebas daripada ikatan, sehingga kalau sewaktu-waktu
kita harus berpisah, kita tidak akan merasa takut atau ngeri, kita tidak akan
merasa berduka. Ikatan selalu menimbulkan rasa takut akan kehilangan dan rasa
duka kalau kehilangan. Makin kuat ikatan itu, makin besar rasa takut dan makin
besar kedukaan. Sebuah benda saja dapat nenimbulkan ikatan yang demikian kuat
sehingga kalau kita kehilangan benda itu, akan timbul rasa duka yang amat
sangat. Dapatkah kita terbebas dari ikatan dengan kesemuanya itu?
Ada yang bertanya
bahwa kalau kita bebas daripada ikatan dengan keluarga, bukankah itu berarti
bahwa kita tidak mencinta keluarga kita lagi? Sama sekali bukan demikian. Cinta
kasih sama sekali bukanlah ikatan! Kalau kita mencinta anak kita, benar-benar
mencintanya, hal itu bukan berarti bahwa kita harus terikat dengan anak kita
itu. Yang ada hanya bahwa kita ingin melihat anak kita berbahagia hidupnya!
Sebaliknya, ikatan menimbulkan keinginan untuk menyenangkan diri sendiri,
karena memang ikatan diciptakan oleh si aku yang ingin senang tadi. Cinta yang
mengandung ikatan bukanlah cinta kasih namanya, melainkan keinginan untuk
memuaskan dan menyenangkan diri sendiri. Cinta yang mengikat kepada anak
menimbulkan keinginan untuk menguasai anak itu, untuk memperoleh kesenangan
batin melalui si anak, dan terasa berat kalau berpisah, karena si aku merasa
dipisahkan dengan sumber yang menyenangkan diri. Tidakkah demikian?
Demikian pula
dengan isteri atau suami atau keluarga atau benda, atau juga gagasan. Semua itu
hanya merupakan alat untuk menyenangkan diri sendiri dan karenanya menimbulkan
ikatan. Cinta kasih baru ada kalau tidak terdapat keinginan untuk menyenangkan
diri sendiri. Dan tanpa adanya cinta kasih, tidak mungkin ada kebaikan atau
kebajikan, karena tanpa adanya cinta kasih, segala yang nampak baik itu adalah
semu, berpamrih, dan segala macam pamrih itu sumbernya adalah pada si aku yang
ingin senang.
Tulisan
ini dikutip dari :
Cerita
silat karya Asmaraman S / Kho Ping Hoo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar