Saudaraku,…
Semenjak kecil,
kita dididik dan digembleng oleh tradisi dan kebudayaan, dibina oleh cara
pendidikan yang sudah diakui dan dibenarkan oleh masyarakat, untuk
bercita-cita, untuk mengejar sesuatu, untuk berambisi dan menujukan mata kita
jauh ke depan untuk menjangkau dan meraih sesuatu yang kita kehendaki dan yang
belum terdapat oleh kita. Hal ini sudah dibenarkan oleh kita sehingga setiap
manusia, sejak kecil, bergulat dan berjuang untuk mencapai cita-cita
masing-masing sehingga terjadilah saling dorong, saling jegal, saling berebut
dan bersaing, karena cita-cita semua manusia pada hakekatnya tentu sama, yaitu
untuk mencari kesenangan bagi diri pribadi. Cita-cita boleh diberi nama yang
muluk-muluk, yang bersih-bersih, bahkan yang megah-megah, namun semua itu hanyalah
kulit yang membungkus isi yang sama, yaitu : mengejar sesuatu yang
menyenangkan diri
sendiri, baik lahir maupun batin!
Kalau kita mau
membuka mata, jelas tampak dalam penghidupan sehari-hari betapa cita-cita atau
keinginan mencapai sesuatu mendatangkan kepalsuan-kepalsuan, pertentangan dan
kejahatan di dalam hubungan antara manusia. Sekelompok anak-anak pun, kalau
melakukan suatu permainan di mana terdapat kemenangan, setiap orang anak
memperebutkan kemenangan itu dan sudah pasti akan terjadi persaingan, perebutan
yang segera diikuti dengan pertentangan dan pertengkaran. Mengapa demikian?
Karena dengan adanya cita-cita yang dikejar, mata ditujukan kepada cita-cita
itu dan cita-cita itulah yang penting lagi!
Cita-cita itu
saja yang dianggap akan mendatangkan nikmat, permainannya tidak terasa lagi,
seluruh gairah didorong oleh pengejaran akan cita-cita dalam permainan itu,
ialah kemenangan. Karena kita
mementingkan cita-cita yang merupakan khayal karena belum ada, maka kita tidak
mengacuhkan caranya, tidak memandang lagi kepada keadaan sebagaimana adanya.
Kita memandang kepada masa depan, yaitu cita-cita, tidak pernah memperhatikan
sekarang, saat ini. Maka terjadilah penyelewengan, terjadilah penggunaan
cara-cara yang tidak sehat, semua demi mencapai cita-cita.
Bahkan ada
pendapat yang amat menyesatkan bahwa “cita-cita menghalalkan segala cara”.
Betapa menyesatkan pendapat seperti itu. Kita lupa bahwa cara dan cita-cita
tidak ada bedanya. Kalau caranya buruk, mana mungkin cita-cita atau tujuannya baik?
Demi mengejar cita-cita pribadi yang diselimuti dengan sebutan cita-cita
rakyat, bangsa, dan lain sebagainya, terjadilah permainan-permainan kotor. Nama
rakyat dicatut, nama negara, bangsa, agama, bahkan kadang-kadang nama Tuhan pun
dipergunakan orang tanpa segan-segan lagi, semua demi mencapai cita-citanya.
Tentu ada yang
membantah bahwa cita-cita tidak selamanya buruk, banyak terdapat cita-cita yang
baik. Baik maupun buruk tetap saja cita-cita, tetap saja keinginan yang disusul
dengan pengejaran dan di dalam pengejarannya inilah terjadi penyelewengan dan
kekerasan, dan terjadilah bentrokan dan pertentangan. Karena cita-cita
menghidupkan dan membesarkan si “aku” dan penonjolan si “aku” dan si “kamu”
tentu saja memperbesar pula bentrokan-bentrokan. Yang baik bagi aku belum tentu
baik bagi kamu, dan demikian sebaliknya. Mengapa pula kita dibius oleh
cita-cita dan keinginan memperoleh sesuatu yang belum ada? Mengapa kita
menujukan mata kita jauh ke depan, ke masa depan yang abstrak? Mengapa kita
tidak menghayati hidup di saat ini? Hidup di saat ini berarti menujukan seluruh
perhatian kepada saat ini, saat demi saat tanpa diganggu oleh bayangan masa
depan yang menyesatkan. Kalau kita melakukan segala sesuatu di saat ini dengan
kasih di hati, apakah perlunya kita bercita-cita?
Saudaraku,…
Kalau kita
memperhatikan setiap dari langkah-langkah hidup kita, segala akan tampak oleh
kita, sebaliknya kalau mata kita ditujukan jauh ke depan, banyak bahayanya kaki
kita yang akan tersandung. Apa perlunya kita memandang “sana” yang bukan lain
hanyalah kelanjutan dari “sini”? Mengapa kita menginginkan yang “begitu” dan
tidak menghayati yang “begini”? Yang “begitu” adalah khayal, sedangkan yang
“begini”, saat ini, barulah nyata dan hidup!
Tulisan ini dikutip dari :
Cerita silat karya Asmaraman S
/ Kho Ping Hoo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar