Hati atau batin yang gelisah dan tidak tenteram selalu
menjadi akibat dari sibuknya pikiran! Kalau pikiran tenang dan hening seperti
air telaga yang tidak diusik, maka batin akan menjadi hening dan bebas dari
segala macam perasaan pula. Akan tetapi sekali pikiran kacau dan keruh seperti
air yang diaduk sehingga semua lumpur dan kotoran dari dasar yang tadinya
mengendap itu timbul dan mengeruhkan, keheningan air pun lenyap. Jadi yang
penting bukanlah menekan kesibukan pikiran karena penekanan ini pun merupakan
kesibukan lain lagi dari pikiran itu sendiri. Yang penting adalah menyelami dan
mempelajari, mengamati kesibukan pikiran sendiri, bukan pengamatan dengan
pamrih mendiamkan pikiran, melainkan pengamatan yang timbul dari kewaspadaan.
Tanpa penekanan dan perlawanan, tanpa adanya si aku yang menekan atau
mengamati, tanpa adanya aku yang ingin melihat pikiran menjadi tenang, maka
bagaikan kehabisan setrum, pikiran akan menjadi diam dengan sendirinya, bukan
DIBIKIN diam.
Kehidupan kita seolah-olah sejak kecil sampai tua sampai
mati, dipenuhi dengan berbagai macam masalah dan persoalan. Masing-masing dari
kita mempunyai masalah sendiri, menghadapi persoalan tertentu sendiri-sendiri,
suka duka selalu menyelang-nyeling, susah senang menjadi pakaian sehari-hari.
Semua ini bukan lain ditimbulkan oleh pikiran atau si aku karena si aku adalah
bentukan pikiran kita sendiri. Ingin ini, ingin itu, mengapa begini, mengapa
tidak begitu seperti yang kita inginkan, mengapa harapan kita menjadi hampa,
mengapa keinginan kita tidak terlaksana, mengapa orang lain senang dan kita
susah, orang lain pandai dan kita bodoh, orang lain kaya dan kita miskin, dan
sebagainya. Perang atau konflik terjadi di dalam diri kita masing-masing,
konflik antara kenyataan dan keinginan lain, konflik antara keadaan seperti
adanya dengan keadaan seperti yang kita kehendaki. Konflik dalam diri setiap
manusia ini menjalar menjadi konflik antara kelompok, golongan, bahkan antara
bangsa dan menjadi perang yang mengguncang dunia.
Semua pertikaian atau konflik antara dua orang selalu
timbul karena pikiran masing-masing, karena si aku yang selalu ingin
disenangkan walaupun jarang sekali ingin menyenangkan, selalu ingin dikasihani
walaupun jarang mengasihani. Masing-masing memperebutkan kebenaran sendiri, dan
kebenaran yang diperebutkan itu sudah pasti kebenaran yang didasari ingin
senang sendiri. Keduanya memperebutkan kebenaran sendiri-sendiri yang berbeda,
bahkan berlawanan.
Tradisi usang dan
kebiasaan lama kadang-kadang merupakan kebijaksanaan pada suatu masa atau kurun
waktu tertentu dan kalau selalu dipertahankan, maka akan menimbulkan konflik
karena segala sesuatu akan berubah dengan berubahnya waktu. Mengekor saja
kepada kebiasaan atau tradisi lama tanpa pertimbangan yang bijaksana, merupakan
suatu kebodohan.
Semenjak ribuan tahun, di Tiongkok terdapat suatu
anggapan yang sudah berakar di dalam hati setiap keluarga, merupakan tradisi
yang amat kokoh kuat, yaitu bahwa setiap keluarga HARUS mempunyai keturunan
laki-laki! Mungkin sekali anggapan ini terdorong oleh kedua keadaan. Pertama,
seorang anak laki-laki dianggap akan dapat membantu keluarga orang tuanya di
sawah karena pada waktu itu, sebagian besar rakyat hidup sebagai petani yang
miskin. Kebutuhan akan tenaga bantuan inilah yang mendorong mereka beranggapan
bahwa kalau mempunyai anak laki-laki berarti memperoleh tenaga bantuan yang
amat baik dan dapat dipercaya, dan berarti meringankan beban keluarga. Dan ke
dua, anak laki-laki akan melanjutkan tradisi nenek moyang, akan melaniutkan
keturunan marga mereka masing-masing, dan akan memelihara abu nenek moyang.
Jelasnya, seorang anak laki-laki akan dapat melanjutkan
silsilah keluarga, melanjutkan riwayat marga itu. Sebaliknya, anak perempuan
hanya menjadi beban sejak kecil, merupakan mahluk lemah yang tenaganya tak
dapat banyak diharapkan di waktu anak itu menjadi dewasa, bahkan mengundang
datangnya gangguan yang datang dari orang-orang muda, dan akhirnya anak itu
hanya akan diboyong oleh orang lain, membantu rumah tangga keluarga lain! Yang
dianggap lebih celaka lagi begitu menikah, seorang anak perempuan telah
berganti she (nama marga) yang berarti telah menjadi anggauta keluarga marga
baru itu, dan marganya sendiri sudah terlepas darinya.
Tentu saja pendapat yang menjadi tradisi seperti ini
merupakan suatu pendapat yang seluruhnya berdasarkan kepentingan si aku, dalam
hal ini kepentingan si orang tua sendiri. Dan pendapat yang berdasarkan
kepentingan diri sendiri selalu mendatangkan tindakan-tindakan yang jahat.
Demikian pula dengan tradisi tentang anak laki-laki ini, menimbulkan banyak
tindakan yang sesat di kalangan orang-orang tua. Banyak yang menganggap
keluarga mereka sial kalau mempunyai anak perempuan, bahkan bukan merupakan
dongeng belaka kalau ada keluarga yang anaknya terlahir perempuan melulu, tanpa
ada yang laki-laki, memperlakukan anak-anak mereka dengan kejam, bahkan ada
yang membunuh anak yang ke sekian dan terlahir perempuan, atau menjual anak itu
kepada keluarga lain untuk dijadikan budak, selir, atau bahkan pelacur! Sungguh
menyedihkah akibat dari suatu kebiasaan yang turun-temurun dilakukan orang
tanpa mempergunakan pertimbangan kebijaksanaan lagi.
Tentu saja karena si aku adalah bentukan pikiran kita
sendiri. Ingin ini, ingin itu, mengapa begini, mengapa tidak begitu seperti
yang kita inginkan, mengapa harapan kita menjadi hampa, mengapa keinginan kita
tidak terlaksana, mengapa orang lain senang dan kita susah, orang lain pandai
dan kita bodoh, orang lain kaya dan kita miskin, dan sebagainya. Perang atau
konflik terjadi di dalam diri kita masing-masing, konflik antara kenyataan dan
keinginan lain, konflik antara keadaan seperti adanya dengan keadaan seperti
yang kita kehendaki. Konflik dalam diri setiap manusia ini menjalar menjadi
konflik antata kelompok, golongan, bahkan antara bangsa dan menjadi perang yang
mengguncang dunia.
Semua pertikaian atau konflik antara dua orang selalu
timbul karena pikiran masing-masing, karena si aku yang selalu ingin
disenangkan walaupun jarang sekali ingin menyenangkan, selalu ingin dikasihani
walaupun jarang mengasihani. Masing-masing memperebutkan kebenaran sendiri, dan
kebenaran yang diperebutkan.
Tulisan ini disarikan dari :
Cerita Silat karya ASMARAMAN S
/ KHO PING HOO